HERMENEUTIKA
AL-QUR’AN
HASAN
HANAFI
oleh:
Hasnan Adip Avivi
I.
Pendahuluan
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan
kepada Allah Swt. yang telah memberikan beberapa kenikmatan serta hidayahNya
sehingga kita semua masih dalam lindunganNya yang baik. Serta selawat dan salam
kami ucapkan pada Nabi kita, dengan penuh harapan syafaatnya mengiringi
kita semua dalam hal apapun, khususnya ketika belajar. Amin.
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk
mempelajari dan memahaminya, melalui pentunjuk-petunjuknya yang tersurat maupun
tersirat. Interpretasi
dan kesadaran manusia untuk merealisasikan pemahamannya akan teks dalam
kehidupan konkrit yang menyebabkan sebuah kitab suci menjadi agung dan
bermakna, sebagai petunjuk sekaligus pedoman hidup yang tertuang dalam bentuk
ajaran akidah, akhlak, hukum, falsafah, siyasah dan ibadah.
Sebagaimana yang terjadi dalam kalangan muslim terhadap
penyikapan lahirnya sebuah metode hermeneutika yang menawarkan sebagai salah
satu cara untuk menginterpretasikan teks, menimbulkan polemik dari beberapa
ilmuwan muslim karena secara sadar khawatir akan hilangnya sakralitas teks.
Pada kali ini, Hasan Hanafi
yang menjadi kajian pemakalah. Hasan Hanafi yang dikenal sebagai ulama
kontemporer Timur ini ternyata memiliki corak berbeda dengan lainya. Pada gaya
berpikirnya, dia berusaha melakukan perlawanan terhadap Barat (istighrab). Jika dilihat dari spektrum
teoritis filosofisnya.
II.
Hasan Hanafi Dan Pemikirah
Hermeneutika
A. Biografi
Hasan Hanafi
Hassan Hanafi lahir pada 13 Februari
1935 di Kairo, Dia merupakan seorang pemikir Hukum Islam dan professor filsafat
terkemuka di Mesir yang menguasai tiga bahasa sekaligus: Arab, Prancis, dan
Inggris. Sehingga buku dan karya ilmiahnya pun menggunakan tiga bahasa tersebut.
Dia memperoleh gelar sarjana muda dalam bidang filsafat dari University of
Cairo 1956. Tahun 1966 Dia mengntongi gelar Doktor dari La Sorbonne
Prancis. Selama studi di Prancis Dia menjadi guru bahasa Arab di Ecole
des Langues Orientales,Paris. Setelah selesai studi di Prancis. Dia kembali
ke Mesir untuk menjabat staf pengajar di Universitas Kairo jurusan Filsafat,
untuk kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan Filsafat Islam. Reputasi
internasionalnya sebagai pemikir muslim terkemuka mengantarkannya pada beberapa
jabatan Guru Besar luar biasa (Visiting prifesor) di berbagai perguruan
tinggi asing, seperti Belgia (1970), AS (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko
(1982-1984), Jepang (1984-1985), dan Uni Emirat Arab (1985).
B.
Pengertian Hermeneutika
Secara harfiah, hermeneutika
artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunaninhermeneuin yang berarti menafsirkan.
Istilah ini merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam metologi Yunani yang
dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung Hermeneutika ada
yang menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani,
Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada
manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika berkembang sebagai metodologi
penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan
filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial
dan humaniora.
Peran Hermes dalam hal ini
dianggap sangat urgen, karena sebagai penyampai pesan-pesan suci dari Tuhan.
Maka, konsekuensinya jika penerjemahan itu salah, secara tidak langsung
merombak vitalitas kesakralan pesan Tuhan. Dan, jika keliru dalam hal
interpretasi, pastilah ajaran dan misi Tuhan kepada manusia akan mengalamai
disorientasi.
The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika
adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi bibel. Tujuan dari
hermeneutika sendiri adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam
Bibel. Dan, hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir, melainkan satu “metode
tafsir” tersendiri atau filsafat tentang penafsiran yang sangat bisa berbeda
dengan Al-Quran.[1]
Sejauh ini,
sebuah metode yang dinamakan “hermeneutika” menjadi sangat ramai dalam
pembahasan sebagai bahan interpretasi pada sebuah teks.
C.
Latar Belakang Hasan Hanafi Menafsirkan
al-Qur’an
Hanafi
merupakan pemikir muslim radikal dan kritis baik terhadap gerakan Islamis
maupun Barat yang mencoba mendominasi Islam. Oleh karena itu, dia berusaha
merekonstruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat membebaskan umat Islam dari
segala bentuk penindasan.
Di samping
menguasai pemikiran Islam, Hassan Hanafi juga menguasai pemikiran Barat dengan
baik. Menurutnya, dunia Islam kini sedang menghadapi dua ancaman besar baik
secara internal maupun secara eksternal. Ancaman dari dalam Islam adalah berupa
kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan. Sedangkan dari luar Islam yakni
imperialisme, zionisme dan kapitalisme.
Kemunculan
Hassan Hanafi pada dekade 1980 mendapat perhatian luas dengan
gerakan yang dipelopori dirinya, al Yasar al Islami (Kiri Islam).
Lahirnya Al Yasar Al Islami atau dikenal juga dengan At-turats wa
at-tajdid (tradisi dan modernisasi) merupakan proyek pembaharuan
Hassan Hanafi yang bertopang pada tiga pilar utama. Pertama, revitalisasi
khasanah klasik Islam. Kedua, perlunya menentang peradaban Barat. Ketiga,
analisis atas realitas dunia Islam. Pada bagian terakhir ini, Hanafi
mengusulkan al tafsir al syu'ur suatu metode tafsir di mana realitas dunia
Islam dapat berbicara sendiri.
Hassan Hanafi
memandang bahwa peradaban Islam merupakan upaya perjanjian wahyu secara
metodologis dan intelektual bagi dunia dalam suatu periode sejarah dan
sosiologi tertentu. Bagi Hanafi, persoalannya bukan terletak pada al-Qur’an,
melainkan bagaimana wahyu al-Qur’an itu dapat dihadirkan secara interpretatif dan
bagaimana struktur teortitis menyajikannya. hal itu tidak dimaksudkan oleh
Hanafi bahwa penyajian wahyu yang telah berlangsung selama ini salah.
Melainkan, hal itu dipandang sebagai satu pilihan di antara pilihan-pilihan
yang lain sesuai dengan tuntunan zaman.
Dengan kata
lain bisa dijeaskan bahwa Hanafi merumuskan proyek at-Turāts wa
at-Tajdīd berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan. Pertama, rekonstruksi
tradisi Islam dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis yang
mencerminkan ”apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawqifunā min
al-qadīm). Kedua, rekonstruksi ulang terhadap batas-batas
kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin dalam ”sikap kita
terhadap Barat” (mawqifunā minal-gharb). kemudian yang
terakhir adalah, upaya membangun sebuah teori interpretasi al-Qur’an yang membebaskan
yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, yang
memposisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan. Agenda ketiga
ini mencerminkan ”sikap kita terhadap realitas” (mawqifunā minal-wāqī).[2]
D.
Bangunan
Hermeneutika Hasan Hanafi
Hanafi membangun sebuah metode
Hermeneutika dengan mengusung kolaborasi antara disiplin keilmuan dari khazanah
Islam klasik dan tradisi intelekual barat. Yaitu Ushul al-Fiqh, Hermeneutika,
fenomenologi, dan Marxisme.
Keterkaitan Ushul
al-Fiqh terutama konsep Asbab an-Nuzul, nasikh-mansukh, danmashlahah sebagai
bagian dari hermeneutika, adalah untuk menunjukkan betapa pentingnya relasi
wahyu dan realitas. Asbab an-Nuzul oleh Hanafi dimaksudkan
untuk menunjukkan supremasi realitas terhadap wahyu, ia berpendapat bahwa tidak
ada ayat atau surat yang tanpa didahului latar belakang pewahyuan. Sekalipun
latar belakang ini harus dipahami dalam pengertian yang luas, yang bisa berupa
kondisi, peristiwa, atau lingkungan di dalamnya sebuah ayat diturunkan; nasikh-mansukh
menunjukkan gradualisme dalam penetapan aturan hukum, eksistensi
wahyu dalam waktu, peruahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselaransannya
dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah.
Sementara konsep mashlahah merujuk
pada pentingnya tujuan wahyu sebagai peristiwadalam sejarah. Menurut
Hanafi, manusia mampu memahami peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan
lahirnya wahyu atau dalam peristiwa di mana wahyu menjadi signifikan dan secara
bersamaan disepakati masyarakat (ijma’) sebagai kepentingan bersama
(mashlahah).
Dalam kerangka hermeneutik
berikutnya, Hanafi menerima pandangan Hans-George Gadamer bahwa setiap pembaca
(penafsir), dalam melakukan interpretasi harus berangkat dari asumsi-asumsi
awal, horizon, wawasan dan pengaruh-pengaruh intern pada dirinya yang bersumber
dari berbagai pengalaman-pengalaman intelektualnya, tahap ini
disebut sebagai prapemahaman dalam proses interpretasi.
Dengan demikian, menurut Hanafi,
suatu pemahaman terhadap teks tidak dapat mengabaikan
historisitas penafsiran. Setiap teks berangkat dari prapemahaman tertentu,
pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan penafsir dalam teks. Penafsir adalah
kegiatan produktif dan bukan reproduksi makna. Bukan hanya karena makna awal
sulit ditemukan, tetapi juga karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi
karena telah kehilangan konteks ekstensialnya. Dengan kata lain, kalaupun makna
awal berhasil ditemukan, ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya
merefleksikan adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa teks ataupun
penafsiran selalu memiliki nilai historis tersendiri.
Metode yang mempengaruhi pemikiaran
Hanafi selanjutnya adalah fenomenologi. Sebuah metode yang sangat berguna untuk
mempertajam analisis terhadap realitas, dalam hal ini realitas yang dimaksud
Hanafi adalah relitas ekonomi, politik, khazanah Islam, sekaligus realitas
tantangan peradaban Barat. Dengan metode ini realitas dunia Islam diharapkan
mampu berbicara bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain fenomenologi memberikan
sebuah analisis Islam alternatif yang dapat menghindarkan semangat metafisis
yang menurut Hanafi tidak relevan untuk menggambarkan realitas manusiawi dan
Ilahi.
Dari segi metodologis, pengaruh
marxisme begitu kental dalam hermeneutiknya, hal ini bisa dilihat dari
pemikirannya yang senantiasa mengaitkan hermeneutika pada “praksis” dalam
hubungan antara interpretasi dengan realitas. Dalam Marxisme klasik dikenal
filsafat bernalar dan materialisme historis. Dalam upaya untuk menajamkan
kritik terhadap realitas dan pengujian teks pada realitas, Hanafi banyak
meminjam instrumen Marxisme, khususnya metode dialektika.
Peran marxisme ini pada gilirannya
akan menemukan pisau analisis yang tajam tentang masyarakat dan realitas yang
menjadi tujuan hermeneutiknya. Dalam pandangan Hanafi, jika metode (Marxisme)
ini diterapkan makan akan menemukan kesejajaran antara teks dan realitas. Jika
teks memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas,
kekuasaan-oposisi, demikian halnya dengan sifat dasar teks. Struktur teks yang
bersifat ganda tersebut kemudian melahirkan hermeneutika progresif dan
konservatif. Hermeneutika konservatif beranjak dari teks, mendasarkan diri pada
makna literal dan makna otonom, dan aturan yang didasarkan pada realitas yang
diandaikan, dan menganggap teks sebagai nilai per se. Sementara
hermeneutika progresif menganggap teks sekedar alat, kehidupan nyata (justru)
adalah nilai absolut yang perlu diperhatikan
Pengaruh marxisme terhadap pemikiran
Hanafi mengantarkan pada suatu unsur-unsur ideologi revolusioner untuk
melakukan tafsir ulang terhadap agama. Seperti, melakukan melakukan
pemaknaan ulang terhadap Tauhid. Tauhid dimaknai sebagai rasa tunduk hanya kepada
Tuhan, sehingga tunduk terhadap selain kekuasanNya adalah bentuk pengingkaran
terhadap Tuhan itu sendiri. Ia menegaskan bahwa; ketika sesorang
mengatakan la Ilaha illallah berarti harus melakukan penolakan dan
penerimaan sekaligus. Melakukan penolakan terhadap seluruh Tuhan palsu yang ada
pada zamannya, menolak setiap keadaan dimana orang-orang justru menyatakan
dirinya Tuhan dengan memperalat dan mengkonsterasikan harta kekayaan untuk golongannya sendiri. Dan
penerimaan adalah menyetujui bahwasannya harus tidak ada kelas-kelas yang
mendominasi dalam struktur masyarakat. Pemaknaan ini untuk mereduksi
kesenjangan teori dengan kaitan praksis melalui pemaknaan ulang terhadap agama
yang bersifat non-materalistik, sehingga include dengan
nilai-nilai islam.
Melalui marxisme, Hanafi mengajak
interpreter berangkat dari dan menuju praksis. Ia mengklaim jika hermeneutika
semacam ini sejalan dengan fenomenologi, maka dapat menciptakan perubahan,
mentransformasikan penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada
gerakan revolusi (massa), dari tradisi menuju modernisasi. Penggunanaan
Marxisme dan fenomenologi ini pada saat yang sama memberikan kemungkinan akan
menemukan Ego dan cogito sosio-politik yang baru, afirmasi
individu, hak-hak kelompok, rakyat dan bangsa.[3]
E.
Pemikiran Dan Sistematika
Hermeneutik Hasan Hanfi
Manurut Hanafi, ada dua
perbedaan terbesar yang substansial antara hermeneutika Barat dengan Islam.
Dalam hermeneutika Yunani dan Kristen Barat, tugas Rasul (Tuhan Hermes/Christ)
adalah menerjemahkan pesan Tuhan kepada umat manusia. Begitu pula, dalam
tradisi Islam, Malaikat Jibril (Roh Kudus) tidak mempunyai hak untuk
menerjemahkan wahyu teks Allah, karena dia hanya seorang mediator antara dia
dengan Nabi Muhammad Saw.
Menurut Hanafi, dengan “kesadaran
yang netral” Jibril mendiktekan wahyu Allah. Hanafi menegaskan, “i authenticite de I
information”, “depend de la neutralite de la consience du rapporteur.”. pada gilirannya, seperti Jibril, Nabi Muhammad Saw harus
mengadopsi kesadaran netral (al-wa’yu) dalam menyampaikan ayat-ayat Tuhan. Seperti kitab suci lainnya,
Al-Quran adalah sebuah teks kuno bagi pembacanya, dan oleh karena itu
diperlukan permasalahan psikologis (yakni, permasalahan menjembatani perbedaan
budaya dan waktu antara pengarang dengan pembacanya).
Dalam pendekatan
fenomenologi Hanafi, hermeneutika adalah ilmu yang menentukan relasi antara
kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab suci. Hermeneutik Hasan hanafi dibangun dari berbagai pengandaian dalam
fenomenologi dan Marxisme, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak
belakang yang ia sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika
filosofis.[4]
Di sini Hasan Hanafi menyaratkan
beberapa langkah sistemik dalam merealisasikan hermeneutikanya yaitu:
Pertama, merumuskan komitmen sosial politik.
Bagi Hanafi, seorang penafsir bukanlah orang yang netral, karena ia berada
hidup dalam lingkaran peristiwa di suatu negara termasuk berbagai krisis di
dalamnya. Oleh sebab itu, ia harus menempatkan diri pada kelompok yang
tertindas dan minoritas. Dengan begitu seorang penafsir diharapkan menjadi
reformis, aktor soisal, dan revolusioner.
Kedua, mencari sesuatu. seorang mufasir
semestinya sudah mempunyai tema tertentu yang ingin ia ketahui sebelum memulai
penafsiran. Dengan kata lain, kegiatan interpretasi tidak lain bertujuan untuk
mencari sebuah solusi atas suatu masalah.
Ketiga, mensipnosis ayat-ayat yang berkaitan
dengan tema-tema tertentu. Ayat-ayat yang berhubungan dengan tema tertentu
tersebut dikumpulkan dengan teliti, dibaca secara simultan, lalu dipahami
berulang-ulang sampai orientasi umumnya dapat ditemukan.
Keempat, mengklasifikasi bentuk-bentuk
linguistik. Sebab melalui analisis linguistik orientasi suatu makna dapat
diketahui.
Kelima, membangun struktur yang ideal.
Setelah orientasi makna didapatkan, penafsir berusaha membangun suatu struktur,
berangkat dari makna menuju suatu objek.
Keenam, menganalisis situasi faktual. Yaitu
menghubungkan dengan situasi nyata, misalnya situasi negara yang dilanda
keterpurukan kekuasaan, kesejahteraan, hak asasi manusia, dan sebagainya.
Ketujuh, membandingkan yang ideal dengan yang
riil (kondisi realitas).
Kedelapan, mendeskripsikan model-model
aksi. Setelah ditemukan adanya kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia
riil, maka aksi sosial merpakan langkah paling penting dari proses
interpretasi. Dengan demikian penafsir harus mampu mentransformasikan diri dari
teks ke aksi.[5]
III.
Kesimpulan
Hassan Hanafi lahir pada 13 Februari
1935 di Kairo, Dia merupakan seorang pemikir Hukum Islam dan professor filsafat
terkemuka di Mesir yang menguasai tiga bahasa sekaligus: Arab, Prancis, dan
Inggris
Sejauh ini, sebuah metode yang
dinamakan “hermeneutika” menjadi sangat ramai dalam pembahasan sebagai bahan
interpretasi pada sebuah teks.
Hanafi
merupakan pemikir muslim radikal dan kritis baik terhadap gerakan Islamis
maupun Barat yang mencoba mendominasi Islam. Oleh karena itu, dia berusaha merekonstruksi
pemikiran Islam ke arah yang dapat membebaskan umat Islam dari segala bentuk
penindasan.
Hanafi membangun sebuah metode
Hermeneutika dengan mengusung kolaborasi antara disiplin keilmuan dari khazanah
Islam klasik dan tradisi intelekual barat. Yaitu Ushul al-Fiqh, Hermeneutika,
fenomenologi, dan Marxisme.
Menurut Hanafi, dengan
“kesadaran yang netral” Jibril mendiktekan wahyu Allah. Hanafi menegaskan, “i authenticite de I
information”, “depend de la neutralite de la consience du rapporteur.”. pada gilirannya, seperti Jibril, Nabi Muhammad Saw harus
mengadopsi kesadaran netral (al-wa’yu) dalam menyampaikan ayat-ayat Tuhan.
Daftar Pustaka
afabagus , http:/2013/12/hermeneutika-hasan-hanafi.html (diunduh
29-05-2015).
Hanafi, Hassan. Islamologi, Dari Teologi Statis ke
Anarkis, terj. Miftah Faqih, (yogyakarta: LkiS, 1992).
Husaini, Adian. Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, (Jakarta:
Penerbit Gema Insani, 2008).
Muhyi414, http://muhyi414.blogspot.sg/2012/12/hermeneutika-hassan-hanafi.html. (diunduh 27-04-2015).
[2] muhyi414, http://muhyi414.blogspot.sg/2012/12/hermeneutika-hassan-hanafi.html. (diunduh 27-04-2015)
[4]
afabagus
, http:/2013/12/hermeneutika-hasan-hanafi.html (diunduh 29-05-2015)
[5]
Milaisma, http://.blogspot.sg/2013/11/mengenal-hermeneutika-hasan-hanafi.htm (diunduh 25-04-2015)
0 komentar:
Posting Komentar