Lawrence
Andrew Rippin
Beserta Pemikiran Orientalisnya
Oleh:
Hasnan
Adip Avivi
I. Pendahuluan
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan
kepada Allah Swt. yang telah memberikan beberapa kenikmatan serta hidayahNya
sehingga kita semua masih dalam lindunganNya yang baik. Serta selawat dan salam
kami ucapkan pada Nabi kita, dengan penuh harapan syafaatnya mengiringi kita
semua dalam hal apapun, khususnya ketika belajar. Amin.
Usaha memahami
makna al-Qur’ân muncul sejak ayat-ayatnya diterima Nabi Muhammad pada tahun 61O
M. Usaha pemahaman tersebut kemudian dikenal dengan Tafsir, yaitu suatu studi
yang teratur memahami makna al-Qur’ân. mulai dari huruf per huruf, kata per kata,
kalimat per kalimat hingga surah per surah. Ada yang melakukannya dengan tafsir
ayat dengan ayat, ada juga dengan ayat dengan hadits. Ada pula dengan
pendekatan pemikiran (bi al-ra'yi atau bi al-ma'qûl) ada juga dengan bi
al-ma'tsûr. Namun, dalam pendekatan modern, tafsir kemudian berkembang seiring
dengan perhatian non-Muslim atau terutama Barat (Orientalis) dalam studi
tafsir. Terma-terma serta konsep-konsep yang digunakannya tentu juga muncul
berdasarkan pengalaman, tradisi, dan pengetahuan mereka itu. Teori, pendekatan.
dan metodologi Barat, serta jargon dan terminologinya. kemudian tidak
terhindarkan.
Makalah ini
akan mengetahui bagaimana cara orientalis mempelajari Tafsir, terutama hal ini
Andrew Rippin, seorang spesialis dalam Studi Islam dengan perhatian utamanya
adalah al-Qur’ân serta sejarah interpretasinya. Dengan kata lain, bagaimana
bingkai berpikir Andrew Rippin, pendekatan dan metodologi Rippin dalam memahami
kajian tafsir serta kritiknya terhadap asbab an-nuzul.
II. Pemikiran Dan Orientalis Andrew Rippin
A.
Biogrrafi
Andrew Rippin
Lawrence
Andrew Rippin lahir pada tanggal 16 Mei 1950 di London, Inggris. Andrew
Rippin adalah seorang mahasiswa di University of Toronto di sana ia
mendapat gelar BA pada tahun 1974 dan 3 tahun kemudian dia berhasil
menyelesaikan magisternya dalam bidang kajian Islam dengan desertasi dengan
judul The Quranic asbabu nuzul material (bahan asbabun nuzul
al-Quran). Rippin berhasil memperoleh gelar P.Hd dalam bidang kajian tafsir di
Universitas Mc Gill pada tahun 1981.
Sejak
itu, Rippin amat produtif dalam bdang studi islam serta al-Quran dan sejarah
penafsirannya. Dalam banyak pertemuan ilmiah di luar kampus tempat kerjannya,
Rippin cukup aktif, baik sebagai anggota ataupun sebagai pengurus berbagai
organesiasi professional dan keilmuan. Rippin banyak menerima award dari
social sciences dan humaties of Canada.[1]
B. Metodologi
dan pendekatan Andrew Rippin
Rippin dalam
penelitiannya menggunakan metodologi analisis literer sebagaimana gurunya
wonsbrough, dia, pada sebagian besar karyanya senang meneliti satu konsep atau
terma tertentu. Umpamanya kata نحن atau kami atau وجه الله dalam
al-Quran, namun demikian berbeda dari analisis maudlu’i. Rippin mendekati suatu
kata berdasarkan karya historisitas penulis muslim awal. Kendati hanya pada
literature yang hanya dia dapat akses (maksudnya tentu masih banyak karya yang
belum tersingkap atau terakses olehnya. Dia juga membatasi dirinya pada
karya-karya Arab kalautoh ada dari Persia hanya segelintir saja, bahasa Turki
dan bahasa muslim lainnya belum sempat ia gunakan.[2]
Salah satu artikel
Rippin adalah tentang fungsi asbabun nuzul dalam tafsir al-Quran (1988), dia
menelusuri apakah asbabun nuzul itu mengikuti pola haggadig atau halakhiq
dengan mengaplikasikan pendekatan analisis litere terhadap naratif asbabun
nuzul. Kesimpulannya adalah fungsi utama asbabun nuzul itu dalam teks tafsir bukanlah
bentuk halakhiq namun peran utama bahan-bahan tersebut ditemukan dalam bentuk
haggadig yaitu, asbabun nuzul berfungsi untuk menyediakan interpretasi tentang
satu ayat dalam sebuah kerangka naratif.
Karya terakhir yang
dapat di elaborasi adalah nilai puisi permainan kata-kata dalam
al-Quran karya Rippin (1994), ini juga menggunakan analisis literer
tapi, kali ini lebih kepada bagaimana permainan kata-kata ini membawa pesan
terhadap pembaca al-Quran. Dan melihat bagaimana memahami suara music yang bercampur
dengan suara argumentasi dalam teks itu, dengan kata lain apakah permainan
kata-kata itu produktif dalam melahirkan diskursus yang bersifat Qurani? Dalam
tulisan ini, Rippin mendekati permasalahan dengan memilih kata-kata yang punya
makna ganda padahal diletakkan dalam satu ayat umpamanya, kata السّاعة QS.
30: 55, yang bisa bermakna waktu biasa tetapi juga bisa bermakna hari kiamat.
Rippin berkesimpulan bahwa kata-kata dalam al-Quran itu tentu saja sebuah
fenomena yang merupakan bagian dari proses temuan pembaca terhadap al-Quran dan
contoh-contoh yang dikemukakan tersebut merupakan suatu tekanan retorika dalam
teks. Jadi retorikal analisis juga digunakan. Bagaimana cara sebuah kata
dianalisis merupakan bagian dari makna yang disampaikannya serta pesan
ditekankan melalui fokabolari yang digunakannya, hal ini menggaris bawahi bahwa
kata-kata itu pada kenyataanya dapat menghantarkan makna hanya melalui konteks.
Sebaliknya kesederhanaan pertanyaan sebuah permainan kata-kata tersebut dalam
al-Quran sering dibutuhkan ketika menanyakan soal produktifitasnya. Permainan
kata bukanlah landasan utama bagi elaborasi negative yang Qurani.[3]
C. Andrew
Rippin “Kritik Kodifikasi al-Quran”
Andrew Rippin mengamini
pendapat Wansbrough bahwa kodefikasi teks al-Quran terbentuk pada akhir abad
ke-2 Hijriah. Oleh sebab itu, semua Hadis yang menyatakan tentang himpunan
al-Quran harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara
historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud
tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha untuk
menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau
mengikuti model periwayatan teks orisinal pantekosta dan kanonisasi kitab suci
Ibrani.[4]
Masih menurut keduanya,
untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini oleh kaum
Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa oleh kaum
Muslimin. Teks al-Quran baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Lebih jauh lagi
Rippin mengatakan, Al-Quran tidak diturunkan kepada satu orang, tetapi
merupakan kumpulan atau pengeditan oleh sekelompok orang selama beberapa abad.
Jadi, al-Quran yang kita baca sekarang tidak sama dengan apa yang ada pada abad
ke 7M. kemungkinan merupakan hasil abad 8M dan 9M.
Akibatnya tahap
pembentukan Islam tidak berlangsung pada masa Muhammad, namun berkembang selama
200-300 tahun berikutnya. Sumber-sumber materi bagi periode ini, sangat
sedikit. Dan di luar dugaan, semua sumber berusia jauh setelah abad 7. Sebelum
750 M tidak ada dokumen yang bisa diverifikasi yang bisa menjelaskan periode
pembentukan Islam ini. Periode klasik ini menggambarkan masa lalu tetapi dari
sudut pandangnya sendiri, seperti orang dewasa menulis tentang masa kecilnya
yang cenderung mengingat hal-hal yang manis saja. Sehingga kesaksian ini
bersifat tidak obyektif dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai
otentik.
Menurut Rippin, muslim
ortodok percaya penuh bahwa wahyu Islam adalah intervensi ilahi lewat Jibril
selama periode 22 tahun, masa yang menetapkan hukum dan tradisi yang akhirnya
membentuk Islam. Tetapi hal ini diragukan, kata Rippin, bahwa pada abad ke 7,
Islam, sebuah agama yang terdiri dari hukum dan tradisi yang njlimet dibentuk
dalam sebuah budaya nomad terbelakang dan berfungsi penuh dalam hanya 22 tahun.
Wilayah Arabia sebelumnya tidak dikenal sebagai dunia beradab. Periode ini
bahkan dicap sebagai periode jahiliyah. Wilayah Arabia sebelum Muhammad tidak
memiliki budaya maju, apalagi infrastruktur yang diperlukan untuk menciptakan
keadaan yang mendukung pembentukan Islam. Jadi, bagaimana Islam diciptakan
secepat dan serapih itu? Dalam lingkungan padang pasir yang terbelakang lagi.[5]
III.
Kesimpulan
Lawrence Andrew Rippin lahir pada
tanggal 16 Mei 1950 di London, Inggris. Andrew Rippin adalah seorang
mahasiswa di University of Toronto di sana ia mendapat gelar BA pada
tahun 1974 dan 3 tahun kemudian dia berhasil menyelesaikan magisternya dalam
bidang kajian Islam dengan desertasi dengan judul The Quranic asbabu
nuzul material.
Rippin dalam penelitiannya menggunakan metodologi analisis literer
sebagaimana gurunya wonsbrough, dia, pada sebagian besar karyanya senang
meneliti satu konsep atau terma tertentu. Umpamanya kata نحن atau kami
atau وجه الله dalam al-Quran, namun demikian berbeda dari analisis
maudlu’.
Andrew Rippin mengamini pendapat Wansbrough bahwa kanonisasi teks
al-Quran terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijriah. Oleh sebab itu, semua Hadis
yang menyatakan tentang himpunan al-Quran harus dianggap sebagai informasi yang
tidak dapat dipercaya secara historis.
Menurut Rippin, muslim ortodok percaya penuh bahwa wahyu Islam
adalah intervensi ilahi lewat Jibril selama periode 22 tahun, masa yang
menetapkan hukum dan tradisi yang akhirnya membentuk Islam.
Karya terakhir yang dapat di elaborasi adalah nilai puisi
permainan kata-kata dalam al-Quran karya Rippin (1994), ini juga
menggunakan analisis literer tapi, kali ini lebih kepada bagaimana permainan
kata-kata ini membawa pesan terhadap pembaca al-Quran. Dan melihat bagaimana memahami
suara music yang bercampur dengan suara argumentasi dalam teks itu, dengan kata
lain apakah permainan kata-kata itu produktif dalam melahirkan diskursus yang
bersifat Qurani? Dalam tulisan ini, Rippin mendekati permasalahan dengan
memilih kata-kata yang punya makna ganda padahal diletakkan dalam satu ayat
umpamanya, kata السّاعة QS. 30: 55.
Daftar Pustaka
Bakti,
Andi Faisa., “Paradigma Andrew Rippin”, dalam Jurnal Studi
al-Quran, Vol, I, No. 2, 2006.
Bhaidhawy, Zakiyuddin. Pendekatan
Kajian Islam dalam Studi Agama,(Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2002),
c3huria,
https://.wordpress.com/2015/01/30/paradigma-andrew-rippin-dalam-studi-tafsir.html. (diunduh 02-05-2015)
[2]
c3huria, https://.wordpress.com/2015/01/30/paradigma-andrew-rippin-dalam-studi-tafsir.html.
(diunduh 02-05-2015)
[3] Andi Faisal Bakti, “Paradigma
Andrew Rippin”, dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol, I, No. 2, 2006.Hal. 33
[5]Zakiyuddin Bhaidhawy . Pendekatan
Kajian Islam dalam Studi Agama,(Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2002), Hlm. 262.
0 komentar:
Posting Komentar