TEKS BERJALAN KE KIRI

Pages

Sabtu, 06 Desember 2014

FIQIH MADDZHABI

FIQIH MADDZHABI
Oleh : Hasnan Adib Avivi
I. Pendahuluan
Salah satu tujuan terpenting dari diturunkannya Al-Quran adalah sebagai media pensyariatan ragam taklif (beban) kehidupan bagi manusia, baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Maka tidak berlebihan jika Ibnu Hazm Az-Zhahiri pernah berkomentar: Tidak ada satupun bab fiqih yang tidak ada sandarannya dari Al-Quran maupun Hadits.
Allah SWT sudah lama menegaskan bahwa tidak ada satupun peristiwa dimuka bumi kecuali sudah ada sandaran hukumnya di dalam Al-Quran:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..”(QS. An-Nahl: 89). [1]
Mengomentari ayat diatas, Imam Syafi’i mengatakan:
فليست تنزل بأحد من أهل دين الله نازلة إلا وفي كتاب الله الدليلُ على سبيل الهدى فيها
“Tidaklah ada satu kejadianpun yang menimpa pemeluk agama Allah, kecuali di dalam kitab-Nya pasti terdapat dalil yang menunjukkan jalan penerang atas status hukumnya”
Dari sinilah para ulama sejagat sepakat untuk menjadikan Al-Quran sebagai sumber pokok (al-mashdar al-asasi) dan sumber pertama (al-mashdar al-awwal) dalam berbicara masalah hukum, terutama hukum fiqih.
Pengetahuan tentang Al-Quran ini penting adanya, sebagai syarat bagi mereka yang ingin intens berbicara hukum. Tidak heran menurut As-Syathibi ketika Rasulullah SAW mengatakan: hendaknya suatu kaum diimami oleh mereka yang paling faham tentang Al-Quran. Karena pengetahuan tentang agama ini bermula dari pahamnya seseorang tentang Al-Quran.
Lebih lanjut As-Syathibi mengungkapkan bahwa tidak ada satu ulama pun yang kembali kepada Al-Quran atas sebuah peristiwa kecuali dia akan mendapatkan pijakannya. Bahkan sosok besar Al-Qurthubi menyebut bahwa penjelasan tentang halal dan haram dari Al-Quran adalah bagian dari mu’jizat Al-Quran, dan kita tahu bahwa halal dan haram termasuk bahasan utama dalam fiqih.
Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat dihindari. Spesialisasi yang menjadi basis intelektual mufassir sangat mendominasi di abad pertengahan karena keanekaragaman corak penafsiran sejalan dengan disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Ini terjadi karena minat para mufassir pada saat itu berpusat pada kepentingannya. Di sisi lain, ilmu yang berkembang pada abad pertengahan bersentuhan dengan ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa dan sastra, serta filsafat. Karena minat keilmuan ulama itu berbeda-beda dan cenderung pada disiplin ilmu tertentu yang digunakan dalam memahami al-Qur’an, bahkan beberapa diantaranya sengaja mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an. Lalu muncullah berbagai tafsir seperti tafsir fiqhi, tafsir t’tiqadi, tafsir sufi, tafsir ‘ilmi, tafsir dan tafsir falsafah. Bahkan sekarang ini masih berkembang seperti tafsir feminis atau jender, hermeunetika dan lain sebagainya 
II. Fiqih Madzhabi
A.  Pengertian Tafsir Fiqih
Tafsir Fiqih ini terdiri dari dua kata; Tafsir dan Fiqih. Secara umum menurut Az-Zarkasyi para ulama sering memberikan pengertian tafsir dengan:
علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه
“Ilmu yang dengannya digunaan untuk memahami kitab Allah (Al-Quran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan menjelaskan makna-maknanya, serta memberikan pengetahuan tentang hukum-hukum didalamnya, dan hikmah-hikmah”
Sedangkan pengertian fiqih sering diungkap dengan:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
”Ilmu yang membahas hukum-hukum syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara rinci”
Tafsir Fiqih ini juga dikenal dengan istilah Tafsir Fuqaha, ada juga ulama yang mnyebutnya dengan Tafsir Ahkam. Penulis sendiri lebih sepakat dengan sebutan Tafsir Fiqih, karena pada dasarnya tafsir ini mempunyai corak khusus, dimana tema bahasannya seputar hukum fiqih.
Jadi fiqih itu adalah pengkhususan dari kata Ahkam yang maknanya masih umum. Didalam Al-Quran pembicaraan tentang ahkam itu meliputi tiga hal; ahkam i’tiqadiyah, ahkam khuluqiyah, dan ahkam amaliyah (fiqhiyah).
Hukum i’tiqadi membahas masalah keyakinan, tema sentralnya berbicara masalah keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir, lebih jelas ayat-ayat seputar hukum i’tiqadi ini aka dibahasa dalam bidang ilmu aqidah atau tauhid atau ilmu kalam.
Sedangkan hukum khuluqi membahas tentang akhlak, yang nantinya secara rinci akan dibahasa dalam ilmu tarbiyah, sehingga dari pengetahuan seperti ini diharapkan setiap muslim akam mempunyai akhlak yang baik, serta meninggalkan perilaku yang tercela.
Hukum amali adalah hukum yang berbicara tentang perilaku ‘nyata’ manusia, inilah yang disebut dengan fiqih Al-Quran yang menjadi objek bahasan para ulama dalam penulisan tafsir fiqih.
Kumpulan penafsiran atas ayat-ayat yang bertemakan fiqih inilah yang disebut dengan Tafsir Fiqih, atau Tafsir Ayat Ahkam, atau Fiqh Al-Kitab. Objek bahasannya seputar masalah fiqih ibadah; shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dst, juga fiqih muamalah; berbagai aqad muamalah, jinayah, dan lain sebagainya. [2]
B.  Latar Belakang Muncul
Dahulu para sahabat di masa Rasulullah saw memahami al-Qur`an dengan “naluri” kearaban mereka. Dan jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka langsung menyakannya kepada Rasulullah saw dan beliau pun lalu menjelaskannya kepada mereka.
Setelah Rasulullah saw wafat dan permasalahan-permasalahan baru mulai muncul, maka mereka beristimbat dengan al-Qur`an untuk menetapkan hukum-hukum syara’ bagi permasalahan baru tersebut. Mereka pun bersepakat atas hal tersebut dan jarang sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi (dalam lafadz).
Ketika tiba masa empat imam fiqh dan setiap imam membuat dasar-dasar istimbat hukum masing-masing dalam madzhabnya, bebagai peristiwa terjadi dan permasalahan-permasalahan pun semakin beragam, maka semakin bertambah pula aspek-aspek perbedaan pendapat dalam memahami ayat, hal ini disebabkan perbedaan segi dalalahnya (petunjuknya), bukan karena fanatisme terhadap suatu mazhab, melainkan karena setiap ahli fiqih berpegang pada apa yang dipandangnya benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran pada pihak lain, untuk merujuk kepadanya.
Keadaan tersebut tetap stabil sampai tiba masa taklid dan fanatisme madzhab. Maka pada masa ini para pengikut imam hanya terfokus pada penjelasan dan pembelaan madzhab mereka, sekalipun mereka harus membawa ayat-ayat al-Qur`an kepada makna yang lemah dan jauh. Dan sebagai akibatnya maka muncullah “Tafsir Fiqih” yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam al-Qur`an. Di dalamnya terkadang fanatisme madzhab menjadi semakin memuncak dan terkadang pula mereda.[3]
C.  Perkembangan Tafsir Fiqih
Sebenarnya keberadaan Fafsir Fiqih ini sudah lama adanya, kehadirannya bersamaan dengan diturunkannya Al-Quran kepada Rasulullah SAW selaku manusia pertama yang mempunyai otoritas dalam memberikan Tafsir Fiqih atas ayat yang diturunkan kepadanya.
Otoritas ini diberikan langsung oleh Allah SWT kepada baginda Muhammad SAW:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“…dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. An-Nahl: 44)
Lalu sepeninggal Rasulullah SAW penafsiran fiqih dilanjutkan oleh para sahabat yang benar-benar memumpuni dibidangnya, tidak asal sahabat berhak dan berani menafsirkan, sekaliber Abu Bakar pun rada takut, kalau – kalau apa yang ditafsirkannya berseberangan dengan apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya, beliau berujar: “Langit mana yang menaungiku dan bumi mana yang membawaku, jika aku berkata tentang Al-Quran sesuatu yang tidak aku mengerti”
Pada fase ini sudah mulai muncul perdebatan dan perbedaan pendapat dalam menafsirkan ayat-ayat hukum, perbedaan ini adalah sebuah keniscyaan, seiring dengan munculnya permasalah baru yang belum pada masa Rasulullah SAW masih hidup.
Keberadaan khilaf dalam penafsiran ini bukanlah menjadi momok yang harus diatjuti, asalkan perbedaan itu bersumber dari mereka yang benar-benar layak untuk memberikan penafsiran.
Keberadaan para sahabat dalam dunia penafsiran ini menjadi teladan bagi para tabi’in yang datang setelahnya. Seorang pembesar tabi’in Abu Abdurrahamn As-Sulami mengatakan: "Tidaklah kami berpindah dari sepuluh ayat yang kami baca kecuali kami mengerti dulu perihal halal dan haram, perintah dan larangan-Nya”
Perkembangan penafsiran fiqih ini terus meluas seiring dengan berkembanganya Islam ke berbagai penjuru dunia, dan seiring dengan munculnya masalah-masalah baru, sampailah pada masa munculnya madzhab fiqih, dimasa ini hampir semua madzhab fiqih berusaha menulis tafsir fiqih sesuai dengan pemahaman madzhab fiqih yang mereka anut.
Dan menurut sebagian ulama Imam Syafi’ilah yang pertama kali menuliskan tafsir dengan corak fiqih ini pada masanya dalam kitabnya Ahkam Al-Quran, walaupun ada yang berpendapat lain, dengan menyebut nama semisal As-Syaikh Abu Al-Hasan Ali bin Hajar As-Sa’di (w. 244 H) dalam kibnya Ahkam Al-Quran.
Di lain pihak ada juga yang menyebutkan nama lain yaitu Abu An-Nashr Muhammad bin Sa’ib (w. 144) dalam kitabnya Ahkam Al-Quran, seperti yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Hamid dalam tesis magisternya dibawah bimbingan Dr. Abdul Aziz Ad-Dardir Musa.[4]
D.  Karakteristik
Dilihat dari pengertian dari tafsir fiqih dan contoh-contohnya, kita dapat ketahui bahwa karakteristik dari tafsir ini adalah mengedepankan penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan hukum fiqih (ayat al-ahkam), dan tidak jarang mengemukakan perbedaan pendapat para ulama fiqih. Corak tafsir ini lebih sering menggunakan metode tafsir maudhu’i karena terkadang mufasir hanya mengambil tema-tema tertentu yang berkaitan dengan fiqih.[5]     
E.  Kitab-Kitab Tafsir Fiqih
Corak tafsir fiqhi terus berlangsung sampai masa kini. Diantara para mufassir dengan corak tafsir fiqhi dan kitab-kitab hasil karyanya yang terkenal adalah:
Madzhab Hanafi
  1. Ahkam Al-Quran, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah At-Thahawi Al-Hanafi (w. 321 H)
  2. Ahkam Al-Quran, Abu Al-Hasan Ali bin Musa bin Yazdad Al-Hanafi (w. 350 H)
  3. Ahkam Al-Quran, Ahmad bin Ali Ar-Razi, lebih dikenal dengan Al-Jasshash Al-Hanafi (w. 370 H)
  4. Talkhish Ahkam Al-Quran, Tahdzib Ahkam Al-Quran, Jamauddin Mahmud bin Mas’ud, lebih dikenal dengan Ibnu Siraj Al-Hanafi (w. 770 H)
  5. At-Tafsirat Al-Ahmadiyah fi Bayan Al-Ahkam As-Syar’iyyah, Ahmad bin Abi Sa’id bin Ubaidillah Al-Hanafi (w. 1130 H)

Madzhab Maliki
  1. Ahkam Al-Quran, Abu Abdillah Muhammad bin Sahnun Al-Qairuwani (w. 255 H)
  2. Ahkam Al-Quran, Al-Qadhi Abu Ishaq Isma’il bin Ishaq bin Isma’il Al-Maliki (w. 282 H)
  3. Ahkam Al-Quran, Abu Al-Hakam Mundzir bin Sa’id bin Abdillah Al-Maliki (w. 355 H)
  4. Ahkam Al-Quran, Abu Bakr Muhammad bin Abdillah, yang dikenal dengan Ibnu Al-Arabi (w. 543 H)
  5. Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi (w. 671 H)
Madzhab Syafi’i
  1.  Ahkam Al-Quran, Imam Syafi’i (w. 204)
  2. Ahkam Al-Quran, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi Al-Baghdadi As-Syafi’i (w. 240 H.)
  3. Ahkam Al-Quran, Imaduddin Abu Al-Husain Ali bin Muhammad At-Thabari, dikenal degan Al-Kiya Al-Harasi As-Syafi’i (w. 450 H)
  4. Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, Jalaluddin As-Suyuthi As-Syafi’i (w. 911 H)
  5. Ahkam Al-Kitab Al-Mubin, Ali bin Abdillah bin Mahmud As-Syafi’i (w. 890 H)
Madzhab Hanbali
  1. Ahkam Al-Quran, Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Farra’ Al-Hanbali (w. 458)
  2. Ahkam Ar-Ray bin Ahkam Al-Ay, Syamsuddin Muhammad bin Abdirrahman As-Sha’igh Al-Hanbali (w. 776 H).[6]
F.   Contoh Tafsir Fiqhi
Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an adalah karya Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji Al-Andalusi seorang alim yang mumpuni dari kalangan Maliki. Di dalam tafsirnya ini, al-Qurtubi tidak membatasi kajianya pada ayat-ayat hukum semata, tetapi menafsirkan al-Qur’an secara menyeluruh. Metode tafsir yang digunakan ialah menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunya ayat), mengemukakan ragam qira’at dan i’rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib, menghubungkan berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum. Misalnya, ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya Harrasi dan Abu Bakr Al-Jashash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu mengomentarinya. Dia tidak fanatik madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman Allah,
3.      أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ 
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa dengan istri-istri kamu” (Al-Baqarah:187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah yang terkandung dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum orang yang akan makan siang hari di bulan Ramadhan karena lupa dan mengutip pendapat Imam Malik, yang mengatakan batal dan wajib mengqadha. Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadhanya. Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum karena lupa, maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya, dan ia tidak wajib mengqadhanya,”.
Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah golongan lain. Misalnya, ia menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah Rafidhah, para filosof dan kaum sufi yang ekstrim. Tetapi dilakukan dengan bahasa yang halus. Dan didorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun membela orang-orang yang di serang oleh Ibn al-‘Arabi dan mencelanya karena ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Kritikannya pun bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan terhormat. [7]
G. Pengaruh perbedaan mazhab fiqih dalam penafsiran
Sebagaimana mafhum bahwa Al-Qur’an adalah kitabullah yang mengandung hukum-hukum syariat yang diturunkan kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Di antara hukum-hukum syariat tersebut adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan ibadah dan muamalah, kedua ruang lingkup hidup tersebut saat ini dikenal dengan istilah fiqh.
Pada masa Rasulullah masih hidup, setiap muncul permasalahan keagamaan (fiqh) akan langsung disampaikan kepada beliau, selain itu juga pemahaman para shahabat terhadap bahasa Arab menjadikan permasalahan yang muncul tidak banyak.
Namun setelah beliau wafat permasalahan yang berkenaan dengan hukum-hukum fiqh Islam bermunculan, walaupun ada ijma bahwa segala sesuatu dikemablikan kepada Al-Quran dan Al-Hadits, namun beberapa permasalahan sering kali tidak ditemukan pada keduanya. Dari sinilah muncul tantangan baru bagaimana memahami fiqh Islam dengan pendekatan yang lain, yaitu keahlian mujtahid untuk menggali hukum-hukum dari Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan kepada sunnah RasulNya. Pendekatan yang dilakukan ini disebut dengan ijtihad, yaitu upaya untuk menggali hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Al-hadits dengan kekuatan akal dan hati.
Karena ijtihad menjadi jalan keluar maka bermunculanlah para ulama yang berijtihad sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Sehingga bermunculanlah berbagai pendapat yang berbeda. Perbedaan sendiri telah terjadi sejak pada masa para sahabat Nabi. Situasi ini terus berkembang hingga munculnya empat ulama madzhab yang menjadi patokan umum dalam mengambil keputusan hukum oleh sebagian umat Islam. Mereka adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i, imam Maliki. Sedangkan dalam kalangan Syi’ah terdapat juga madzhab yang dikenal dengan Zaidiyyah dan Imamiyah. Dengan berkembangnya pendapat-pendapat madzhab tersebut maka berkembang pula corak penafsiran yang sesuai dengan madzhabnya masing-masing. Sehingga muncul tafsir Al-Qur’an dengan corak fiqhi madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali. Pada kalangan syiah juga muncul penafsiran yang sesuai dengan keyakinan mereka.[8]
III. Kesimpulan
Tafsir Fikih merupakan corak penafsiran Al-Qur’an yang lebih menitikberatkan pada aspek-aspek hukum fikih. Tafsir ini juga disebut sebagai tafsir ahkam.Tafsir ini muncul karena adanya ayat-ayat yang bersifat hukmiy serta timbulnya berbagai persoalan dalam masyarakat, sehingga para ulama hukum dari berbagai madzhab berusaha untuk menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan perkara tersebut.
 tokoh-tokoh tafsir yang telah menyusun kitab tafsir corak fikih, diantaranya adalah Abu Bakr Ahmad bin Ali ar-Razi al-Jashshash, Abu Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibnu Arabi), Al-Kiya al-Harasi, Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi, Ahmad Musthafa al-Maraghi.
Kelahiran corak tafsir fikih merupakan implikasi dari adanya para ulama yang menekuni disiplin ilmu fikih.Di dalam disiplin ilmu fikih terdapat beberapa ulama yang memilki cara istimbath hukum yang berbeda, sehingga produk hukum yang dihasilkan juga memiliki perbedaan yang akhirnya membawa pada perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir yang melakukan deduksi hukum dari ayat-ayat al-Qur’an.
Bentuk tafsir yang disuguhkan oleh al-Qurthubi berupa pemikiran (al-ra’y) yang terfokus pada corak fiqih, dengan menggunakan metode analitis (tahlili). Sementara itu, jika dilihat dari penyusunan kitabnya, al-Qurthubi menggunakan sistematika Mushhafi, yaitu menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam al-Qur’an. Sedangkan kitab Tafsir Al-Jashshash memuat hukum-hukum yang disusun dengan metode maudlu’I dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan satu masalah yang dibicarakan. Perkara tersebut disertai dengan mengemukakan pendapat-pendapat baik yang pro maupun yang kontra.












Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Hasbi, Ash-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, (Semarang, Pustaka Rizki Putra,  2012)
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), cetakan ketiga, hal. 199-200
KhatibTibrizi, Misyikatul Mashabih, , dalamMun’im As Sirry, di tahqiqolehNashiruddin Al-Albani , (Beirut, 1961)
Mahmud, Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: Rajawali Press, 2003)



[1]Al-Qur’an 16:89
[2] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), cetakan ketiga, hal. 199-200
[3] Misyikatul Mashabih, KhatibTibrizi, dalam Mun’im As Sirry, di tahqiq oleh Nashiruddin Al-Albani , (Beirut, 1961 ), jilid 1, hlm. 425

[4] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), cetakan ketiga, hal. 199-200
[6] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: Rajawali Press, 2003), hlm. 122.

[7] Ash-Shiddieqy, Hasbi, Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, (Semarang, Pustaka Rizki Putra,  2012)


0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com