FIQIH
MADDZHABI
Oleh :
Hasnan Adib Avivi
I. Pendahuluan
Salah
satu tujuan terpenting dari diturunkannya Al-Quran adalah sebagai media
pensyariatan ragam taklif (beban) kehidupan bagi manusia, baik dalam hal ibadah
maupun muamalah. Maka tidak berlebihan jika Ibnu Hazm Az-Zhahiri pernah
berkomentar: Tidak ada satupun bab fiqih yang tidak ada sandarannya dari
Al-Quran maupun Hadits.
Allah SWT sudah lama menegaskan
bahwa tidak ada satupun peristiwa dimuka bumi kecuali sudah ada sandaran
hukumnya di dalam Al-Quran:
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ
“…Dan Kami turunkan kepadamu Al
Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu..”(QS. An-Nahl: 89). [1]
Mengomentari ayat diatas, Imam
Syafi’i mengatakan:
فليست تنزل بأحد من أهل دين الله نازلة إلا وفي كتاب الله
الدليلُ على سبيل الهدى فيها
“Tidaklah ada satu kejadianpun yang
menimpa pemeluk agama Allah, kecuali di dalam kitab-Nya pasti terdapat dalil
yang menunjukkan jalan penerang atas status hukumnya”
Dari
sinilah para ulama sejagat sepakat untuk menjadikan Al-Quran sebagai sumber
pokok (al-mashdar al-asasi) dan sumber pertama (al-mashdar al-awwal) dalam
berbicara masalah hukum, terutama hukum fiqih.
Pengetahuan
tentang Al-Quran ini penting adanya, sebagai syarat bagi mereka yang ingin
intens berbicara hukum. Tidak heran menurut As-Syathibi ketika Rasulullah SAW
mengatakan: hendaknya suatu kaum diimami oleh mereka yang paling faham tentang
Al-Quran. Karena pengetahuan tentang agama ini bermula dari pahamnya seseorang
tentang Al-Quran.
Lebih
lanjut As-Syathibi mengungkapkan bahwa tidak ada satu ulama pun yang kembali
kepada Al-Quran atas sebuah peristiwa kecuali dia akan mendapatkan pijakannya.
Bahkan sosok besar Al-Qurthubi menyebut bahwa penjelasan tentang halal dan
haram dari Al-Quran adalah bagian dari mu’jizat Al-Quran, dan kita tahu bahwa
halal dan haram termasuk bahasan utama dalam fiqih.
Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan
maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup
bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran al-Qur’an adalah hal yang tak dapat
dihindari. Spesialisasi yang menjadi basis intelektual mufassir sangat
mendominasi di abad pertengahan karena keanekaragaman corak penafsiran sejalan
dengan disiplin ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Ini terjadi
karena minat para mufassir pada saat itu berpusat pada kepentingannya.
Di sisi lain, ilmu yang berkembang pada abad pertengahan bersentuhan dengan
ilmu fikih, ilmu kalam, ilmu tasawuf, ilmu bahasa dan sastra, serta filsafat.
Karena minat keilmuan ulama itu berbeda-beda dan cenderung pada disiplin ilmu
tertentu yang digunakan dalam memahami al-Qur’an, bahkan beberapa diantaranya
sengaja mencari dasar yang melegitimasi teori-teorinya dari al-Qur’an. Lalu
muncullah berbagai tafsir seperti tafsir fiqhi, tafsir t’tiqadi, tafsir
sufi, tafsir ‘ilmi, tafsir dan tafsir falsafah. Bahkan sekarang ini
masih berkembang seperti tafsir feminis atau jender, hermeunetika dan lain
sebagainya
II. Fiqih Madzhabi
A. Pengertian
Tafsir Fiqih
Tafsir
Fiqih ini terdiri dari dua kata; Tafsir dan Fiqih. Secara umum menurut
Az-Zarkasyi para ulama sering memberikan pengertian tafsir dengan:
علم يفهم به كتاب الله المنزل على نبيه محمد صلى الله عليه
وسلم وبيان معانيه واستخراج أحكامه وحكمه
“Ilmu yang dengannya digunaan untuk
memahami kitab Allah (Al-Quran) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan
menjelaskan makna-maknanya, serta memberikan pengetahuan tentang hukum-hukum
didalamnya, dan hikmah-hikmah”
Sedangkan pengertian fiqih sering
diungkap dengan:
العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
”Ilmu yang membahas hukum-hukum
syariat bidang amaliyah (perbuatan nyata) yang diambil dari dalil-dalil secara
rinci”
Tafsir
Fiqih ini juga dikenal dengan istilah Tafsir Fuqaha, ada juga ulama yang
mnyebutnya dengan Tafsir Ahkam. Penulis sendiri lebih sepakat dengan sebutan
Tafsir Fiqih, karena pada dasarnya tafsir ini mempunyai corak khusus, dimana
tema bahasannya seputar hukum fiqih.
Jadi
fiqih itu adalah pengkhususan dari kata Ahkam yang maknanya masih umum. Didalam
Al-Quran pembicaraan tentang ahkam itu meliputi tiga hal; ahkam i’tiqadiyah,
ahkam khuluqiyah, dan ahkam amaliyah (fiqhiyah).
Hukum
i’tiqadi membahas masalah keyakinan, tema sentralnya berbicara masalah keimanan
kepada Allah, malaikat, kitab, rasul, hari akhir dan takdir, lebih jelas
ayat-ayat seputar hukum i’tiqadi ini aka dibahasa dalam bidang ilmu aqidah atau
tauhid atau ilmu kalam.
Sedangkan
hukum khuluqi membahas tentang akhlak, yang nantinya secara rinci akan dibahasa
dalam ilmu tarbiyah, sehingga dari pengetahuan seperti ini diharapkan setiap
muslim akam mempunyai akhlak yang baik, serta meninggalkan perilaku yang
tercela.
Hukum
amali adalah hukum yang berbicara tentang perilaku ‘nyata’ manusia, inilah yang
disebut dengan fiqih Al-Quran yang menjadi objek bahasan para ulama dalam
penulisan tafsir fiqih.
Kumpulan
penafsiran atas ayat-ayat yang bertemakan fiqih inilah yang disebut dengan
Tafsir Fiqih, atau Tafsir Ayat Ahkam, atau Fiqh Al-Kitab. Objek bahasannya
seputar masalah fiqih ibadah; shalat, puasa, zakat, haji, nadzar, sumpah, dst,
juga fiqih muamalah; berbagai aqad muamalah, jinayah, dan lain sebagainya. [2]
B. Latar Belakang Muncul
Dahulu para
sahabat di masa Rasulullah saw memahami al-Qur`an dengan “naluri” kearaban
mereka. Dan jika terjadi kesulitan dalam memahami sesuatu ayat, mereka langsung
menyakannya kepada Rasulullah saw dan beliau pun lalu menjelaskannya kepada
mereka.
Setelah
Rasulullah saw wafat dan permasalahan-permasalahan baru mulai muncul, maka
mereka beristimbat dengan al-Qur`an untuk menetapkan hukum-hukum syara’ bagi
permasalahan baru tersebut. Mereka pun bersepakat atas hal tersebut dan jarang
sekali mereka berselisih pendapat ketika terdapat kontradiksi (dalam lafadz).
Ketika tiba
masa empat imam fiqh dan setiap imam membuat dasar-dasar istimbat hukum
masing-masing dalam madzhabnya, bebagai peristiwa terjadi dan
permasalahan-permasalahan pun semakin beragam, maka semakin bertambah pula
aspek-aspek perbedaan pendapat dalam memahami ayat, hal ini disebabkan
perbedaan segi dalalahnya (petunjuknya), bukan karena fanatisme terhadap suatu
mazhab, melainkan karena setiap ahli fiqih berpegang pada apa yang dipandangnya
benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina jika ia mengetahui kebenaran
pada pihak lain, untuk merujuk kepadanya.
Keadaan tersebut tetap stabil sampai tiba masa taklid dan
fanatisme madzhab. Maka pada masa ini para pengikut imam hanya terfokus pada
penjelasan dan pembelaan madzhab mereka, sekalipun mereka harus membawa
ayat-ayat al-Qur`an kepada makna yang lemah dan jauh. Dan sebagai akibatnya
maka muncullah “Tafsir Fiqih” yang khusus membahas ayat-ayat hukum dalam
al-Qur`an. Di dalamnya terkadang fanatisme madzhab menjadi semakin memuncak dan
terkadang pula mereda.[3]
C. Perkembangan
Tafsir Fiqih
Sebenarnya
keberadaan Fafsir Fiqih ini sudah lama adanya, kehadirannya bersamaan dengan
diturunkannya Al-Quran kepada Rasulullah SAW selaku manusia pertama yang
mempunyai otoritas dalam memberikan Tafsir Fiqih atas ayat yang diturunkan
kepadanya.
Otoritas ini diberikan langsung oleh
Allah SWT kepada baginda Muhammad SAW:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا
نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“…dan Kami turunkan kepadamu Al
Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka dan supaya mereka memikirkan” (QS. An-Nahl: 44)
Lalu
sepeninggal Rasulullah SAW penafsiran fiqih dilanjutkan oleh para sahabat yang
benar-benar memumpuni dibidangnya, tidak asal sahabat berhak dan berani
menafsirkan, sekaliber Abu Bakar pun rada takut, kalau – kalau apa yang
ditafsirkannya berseberangan dengan apa yang diinginkan Allah dan Rasul-Nya,
beliau berujar: “Langit mana yang menaungiku dan bumi mana yang membawaku, jika
aku berkata tentang Al-Quran sesuatu yang tidak aku mengerti”
Pada
fase ini sudah mulai muncul perdebatan dan perbedaan pendapat dalam menafsirkan
ayat-ayat hukum, perbedaan ini adalah sebuah keniscyaan, seiring dengan
munculnya permasalah baru yang belum pada masa Rasulullah SAW masih hidup.
Keberadaan
khilaf dalam penafsiran ini bukanlah menjadi momok yang harus diatjuti, asalkan
perbedaan itu bersumber dari mereka yang benar-benar layak untuk memberikan
penafsiran.
Keberadaan
para sahabat dalam dunia penafsiran ini menjadi teladan bagi para tabi’in yang
datang setelahnya. Seorang pembesar tabi’in Abu Abdurrahamn As-Sulami
mengatakan: "Tidaklah kami berpindah dari sepuluh ayat yang kami baca
kecuali kami mengerti dulu perihal halal dan haram, perintah dan larangan-Nya”
Perkembangan
penafsiran fiqih ini terus meluas seiring dengan berkembanganya Islam ke berbagai
penjuru dunia, dan seiring dengan munculnya masalah-masalah baru, sampailah
pada masa munculnya madzhab fiqih, dimasa ini hampir semua madzhab fiqih
berusaha menulis tafsir fiqih sesuai dengan pemahaman madzhab fiqih yang mereka
anut.
Dan
menurut sebagian ulama Imam Syafi’ilah yang pertama kali menuliskan tafsir
dengan corak fiqih ini pada masanya dalam kitabnya Ahkam Al-Quran, walaupun ada
yang berpendapat lain, dengan menyebut nama semisal As-Syaikh Abu Al-Hasan Ali
bin Hajar As-Sa’di (w. 244 H) dalam kibnya Ahkam Al-Quran.
Di
lain pihak ada juga yang menyebutkan nama lain yaitu Abu An-Nashr Muhammad bin
Sa’ib (w. 144) dalam kitabnya Ahkam Al-Quran, seperti yang ditulis oleh
Abdullah bin Abdul Hamid dalam tesis magisternya dibawah bimbingan Dr. Abdul Aziz
Ad-Dardir Musa.[4]
D. Karakteristik
Dilihat dari pengertian dari tafsir fiqih dan
contoh-contohnya, kita dapat ketahui bahwa karakteristik dari tafsir ini adalah
mengedepankan penafsiran ayat-ayat al-Qur`an yang berkaitan dengan hukum fiqih
(ayat al-ahkam), dan tidak jarang mengemukakan perbedaan pendapat para
ulama fiqih. Corak tafsir ini lebih sering menggunakan metode tafsir maudhu’i
karena terkadang mufasir hanya mengambil tema-tema tertentu yang berkaitan
dengan fiqih.[5]
E. Kitab-Kitab
Tafsir Fiqih
Corak
tafsir fiqhi terus berlangsung sampai masa kini. Diantara para mufassir dengan
corak tafsir fiqhi dan kitab-kitab hasil karyanya yang terkenal adalah:
Madzhab Hanafi
- Ahkam Al-Quran, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah At-Thahawi Al-Hanafi (w. 321 H)
- Ahkam Al-Quran, Abu Al-Hasan Ali bin Musa bin Yazdad Al-Hanafi (w. 350 H)
- Ahkam Al-Quran, Ahmad bin Ali Ar-Razi, lebih dikenal dengan Al-Jasshash Al-Hanafi (w. 370 H)
- Talkhish Ahkam Al-Quran, Tahdzib Ahkam Al-Quran, Jamauddin Mahmud bin Mas’ud, lebih dikenal dengan Ibnu Siraj Al-Hanafi (w. 770 H)
- At-Tafsirat Al-Ahmadiyah fi Bayan Al-Ahkam As-Syar’iyyah, Ahmad bin Abi Sa’id bin Ubaidillah Al-Hanafi (w. 1130 H)
Madzhab Maliki
- Ahkam Al-Quran, Abu Abdillah Muhammad bin Sahnun Al-Qairuwani (w. 255 H)
- Ahkam Al-Quran, Al-Qadhi Abu Ishaq Isma’il bin Ishaq bin Isma’il Al-Maliki (w. 282 H)
- Ahkam Al-Quran, Abu Al-Hakam Mundzir bin Sa’id bin Abdillah Al-Maliki (w. 355 H)
- Ahkam Al-Quran, Abu Bakr Muhammad bin Abdillah, yang dikenal dengan Ibnu Al-Arabi (w. 543 H)
- Al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi (w. 671 H)
Madzhab Syafi’i
- Ahkam Al-Quran, Imam Syafi’i (w. 204)
- Ahkam Al-Quran, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi Al-Baghdadi As-Syafi’i (w. 240 H.)
- Ahkam Al-Quran, Imaduddin Abu Al-Husain Ali bin Muhammad At-Thabari, dikenal degan Al-Kiya Al-Harasi As-Syafi’i (w. 450 H)
- Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil, Jalaluddin As-Suyuthi As-Syafi’i (w. 911 H)
- Ahkam Al-Kitab Al-Mubin, Ali bin Abdillah bin Mahmud As-Syafi’i (w. 890 H)
Madzhab Hanbali
- Ahkam Al-Quran, Abu Ya’la Muhammad bin Al-Husain bin Muhammad bin Khalaf bin Farra’ Al-Hanbali (w. 458)
- Ahkam Ar-Ray bin Ahkam Al-Ay, Syamsuddin Muhammad bin Abdirrahman As-Sha’igh Al-Hanbali (w. 776 H).[6]
F. Contoh Tafsir Fiqhi
Al-Jami’ lil Ahkamil Qur’an adalah karya
Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farh Al-Anshari Al-Khazraji
Al-Andalusi seorang alim yang mumpuni dari kalangan Maliki. Di dalam tafsirnya
ini, al-Qurtubi tidak membatasi kajianya pada ayat-ayat hukum semata, tetapi
menafsirkan al-Qur’an secara menyeluruh. Metode tafsir yang digunakan ialah
menyebutkan asbabun nuzul (sebab-sebab turunya ayat), mengemukakan ragam
qira’at dan i’rab, menjelaskan lafazh-lafazh yang gharib, menghubungkan
berbagai pendapat kepada sumbernya, menyediakan paragraph khusus bagi kisah
para mufassir dan berita-berita dari para ahli sejarah, mengutip dari para
ulama terdahulu yang dapat dipercaya, khususnya penulis kitab hukum. Misalnya,
ia mengutip dari ibnu Jarir Ath-Thabari, Ibnu ‘Athiyah, Ibnu Arabi, Alkiya
Harrasi dan Abu Bakr Al-Jashash.
Al-Qurtubi sangat luas dalam mengkaji ayat-ayat hukum. Ia
mengetengahkan masalah-masalah khilafiyah, hujjah bagi setiap pendapat lalu
mengomentarinya. Dia tidak fanatik madzhab. Contohnya saat menafsirkan firman
Allah,
3.
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ
الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ
“Dihalalkan
bagi kamu pada malam hari puasa dengan istri-istri kamu” (Al-Baqarah:187)
Dalam masalah kedua belas dari masalah
yang terkandung dalam ayat ini, sesudah mengemukakan perbedaan pendapat para
ulama mengenai hukum orang yang akan makan siang hari di bulan Ramadhan karena
lupa dan mengutip pendapat Imam Malik, yang mengatakan batal dan wajib mengqadha.
Ia mengatakan, “Menurut pendapat selain Imam Malik, tidaklah dipandang batal
setiap orang yang makan karena lupa akan puasanya, dan jumhur pun berpendapt
sama bahwa barang siapa makan atau minum karena lupa, ia tidak wajib mengqadhanya.
Dan puasanya tetap sempurna. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Hurairah,
Rasulullah bersabda, “Jika seseorang sedang berpuasa lalu makan atau minum
karena lupa, maka yang demikian adalah rezeki yang diberikan Allah kepadanya,
dan ia tidak wajib mengqadhanya,”.
Al-Qurtubi juga melakukan konfrontasi terhadap sejumlah
golongan lain. Misalnya, ia menyanggah kaum Mu’tazilah, Qadariyah, Syi’ah
Rafidhah, para filosof dan kaum sufi yang ekstrim. Tetapi dilakukan dengan
bahasa yang halus. Dan didorong oleh rasa keadilan, kadang-kadang ia pun
membela orang-orang yang di serang oleh Ibn al-‘Arabi dan mencelanya karena
ungkapan-ungkapannya yang kasar dan keras terhadap ulama. Kritikannya pun
bersih serta dilakukan dengan cara sopan dan terhormat. [7]
G. Pengaruh
perbedaan mazhab fiqih dalam penafsiran
Sebagaimana
mafhum bahwa Al-Qur’an adalah kitabullah yang mengandung hukum-hukum syariat
yang diturunkan kepada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasalam. Di antara
hukum-hukum syariat tersebut adalah hukum-hukum yang berhubungan dengan ibadah
dan muamalah, kedua ruang lingkup hidup tersebut saat ini dikenal dengan
istilah fiqh.
Pada masa Rasulullah masih hidup, setiap muncul permasalahan keagamaan (fiqh) akan langsung disampaikan kepada beliau, selain itu juga pemahaman para shahabat terhadap bahasa Arab menjadikan permasalahan yang muncul tidak banyak.
Pada masa Rasulullah masih hidup, setiap muncul permasalahan keagamaan (fiqh) akan langsung disampaikan kepada beliau, selain itu juga pemahaman para shahabat terhadap bahasa Arab menjadikan permasalahan yang muncul tidak banyak.
Namun
setelah beliau wafat permasalahan yang berkenaan dengan hukum-hukum fiqh Islam
bermunculan, walaupun ada ijma bahwa segala sesuatu dikemablikan kepada
Al-Quran dan Al-Hadits, namun beberapa permasalahan sering kali tidak ditemukan
pada keduanya. Dari sinilah muncul tantangan baru bagaimana memahami fiqh Islam
dengan pendekatan yang lain, yaitu keahlian mujtahid untuk menggali hukum-hukum
dari Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam dan kepada sunnah RasulNya.
Pendekatan yang dilakukan ini disebut dengan ijtihad, yaitu upaya untuk
menggali hukum-hukum dari Al-Qur’an dan Al-hadits dengan kekuatan akal dan
hati.
Karena
ijtihad menjadi jalan keluar maka bermunculanlah para ulama yang berijtihad
sesuai dengan ilmu yang dimilikinya. Sehingga bermunculanlah berbagai pendapat
yang berbeda. Perbedaan sendiri telah terjadi sejak pada masa para sahabat
Nabi. Situasi ini terus berkembang hingga munculnya empat ulama madzhab yang
menjadi patokan umum dalam mengambil keputusan hukum oleh sebagian umat Islam.
Mereka adalah Imam Hanafi, Imam Syafi’i, imam Maliki. Sedangkan dalam kalangan
Syi’ah terdapat juga madzhab yang dikenal dengan Zaidiyyah dan Imamiyah. Dengan
berkembangnya pendapat-pendapat madzhab tersebut maka berkembang pula corak
penafsiran yang sesuai dengan madzhabnya masing-masing. Sehingga muncul tafsir
Al-Qur’an dengan corak fiqhi madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali. Pada
kalangan syiah juga muncul penafsiran yang sesuai dengan keyakinan mereka.[8]
III. Kesimpulan
Tafsir Fikih merupakan corak penafsiran Al-Qur’an yang
lebih menitikberatkan pada aspek-aspek hukum fikih. Tafsir ini juga disebut
sebagai tafsir ahkam.Tafsir ini muncul karena adanya ayat-ayat yang bersifat hukmiy
serta timbulnya berbagai persoalan dalam masyarakat, sehingga para ulama hukum
dari berbagai madzhab berusaha untuk menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan
dengan perkara tersebut.
tokoh-tokoh
tafsir yang telah menyusun kitab tafsir corak fikih, diantaranya adalah Abu
Bakr Ahmad bin Ali ar-Razi al-Jashshash, Abu Bakar Muhammad bin Abdillah (Ibnu
Arabi), Al-Kiya al-Harasi, Abu Abdillah Muhammad al-Qurthubi, Ahmad Musthafa
al-Maraghi.
Kelahiran corak tafsir fikih merupakan implikasi dari
adanya para ulama yang menekuni disiplin ilmu fikih.Di dalam disiplin ilmu
fikih terdapat beberapa ulama yang memilki cara istimbath hukum yang berbeda,
sehingga produk hukum yang dihasilkan juga memiliki perbedaan yang akhirnya
membawa pada perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh para mufassir yang
melakukan deduksi hukum dari ayat-ayat al-Qur’an.
Bentuk tafsir yang disuguhkan oleh al-Qurthubi berupa
pemikiran (al-ra’y) yang terfokus pada corak fiqih, dengan menggunakan
metode analitis (tahlili). Sementara itu, jika dilihat dari penyusunan
kitabnya, al-Qurthubi menggunakan sistematika Mushhafi, yaitu menafsirkan
al-Qur’an sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam al-Qur’an.
Sedangkan kitab Tafsir Al-Jashshash memuat hukum-hukum yang disusun dengan
metode maudlu’I dengan mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan satu
masalah yang dibicarakan. Perkara tersebut disertai dengan mengemukakan
pendapat-pendapat baik yang pro maupun yang kontra.
Daftar
Pustaka
Al-Qur’an
Hasbi, Ash-Shiddieqy, Ilmu
Al-Qur’an Dan Tafsir, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2012)
http://migodhog.blogspot.com/2012/04/corak-tafsir-fiqhi.html. (diunduh 11-11-2014)
Izzan, Ahmad, Metodologi
Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), cetakan ketiga, hal. 199-200
KhatibTibrizi, Misyikatul Mashabih,
, dalamMun’im As Sirry, di tahqiqolehNashiruddin Al-Albani , (Beirut,
1961)
Mahmud,
Mani’ Abd Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli
Tafsir (Jakarta: Rajawali Press, 2003)
[1]Al-Qur’an
16:89
[2]
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,
(Bandung: Tafakur, 2011), cetakan ketiga, hal. 199-200
[3]
Misyikatul Mashabih, KhatibTibrizi, dalam Mun’im As Sirry,
di tahqiq oleh Nashiruddin Al-Albani , (Beirut, 1961 ), jilid 1, hlm. 425
[4]
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir,
(Bandung: Tafakur, 2011), cetakan ketiga, hal. 199-200
[6] Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi
Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: Rajawali
Press, 2003), hlm. 122.
[7]
Ash-Shiddieqy, Hasbi, Ilmu
Al-Qur’an Dan Tafsir, (Semarang, Pustaka Rizki Putra, 2012)
0 komentar:
Posting Komentar