TEKS BERJALAN KE KIRI

Pages

Selasa, 05 Mei 2015

HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
HASAN HANAFI
oleh:
Hasnan Adip Avivi
                        
I.       Pendahuluan
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan beberapa kenikmatan serta hidayahNya sehingga kita semua masih dalam lindunganNya yang baik. Serta selawat dan salam kami ucapkan pada Nabi kita, dengan penuh harapan syafaatnya mengiringi kita semua dalam hal apapun, khususnya ketika belajar. Amin.
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya, melalui pentunjuk-petunjuknya yang tersurat maupun tersirat. Interpretasi dan kesadaran manusia untuk merealisasikan pemahamannya akan teks dalam kehidupan konkrit yang menyebabkan sebuah kitab suci menjadi agung dan bermakna, sebagai petunjuk sekaligus pedoman hidup yang tertuang dalam bentuk ajaran akidah, akhlak, hukum, falsafah, siyasah dan ibadah. 
            Sebagaimana yang terjadi dalam kalangan muslim terhadap penyikapan lahirnya sebuah metode hermeneutika yang menawarkan sebagai salah satu cara untuk menginterpretasikan teks, menimbulkan polemik dari beberapa ilmuwan muslim karena secara sadar khawatir akan hilangnya sakralitas teks.
            Pada kali ini, Hasan Hanafi yang menjadi kajian pemakalah. Hasan Hanafi yang dikenal sebagai ulama kontemporer Timur ini ternyata memiliki corak berbeda dengan lainya. Pada gaya berpikirnya, dia berusaha melakukan perlawanan terhadap Barat (istighrab). Jika dilihat dari spektrum teoritis filosofisnya.
II.    Hasan Hanafi Dan Pemikirah Hermeneutika
A.    Biografi Hasan Hanafi
Hassan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Dia merupakan seorang pemikir Hukum Islam dan professor filsafat terkemuka di Mesir yang menguasai tiga bahasa sekaligus: Arab, Prancis, dan Inggris. Sehingga buku dan karya ilmiahnya pun menggunakan tiga bahasa tersebut. Dia memperoleh gelar sarjana muda dalam bidang filsafat dari University of Cairo 1956. Tahun 1966 Dia mengntongi gelar Doktor dari La Sorbonne Prancis. Selama studi di Prancis Dia menjadi guru bahasa Arab di Ecole des Langues Orientales,Paris. Setelah selesai studi di Prancis. Dia kembali ke Mesir untuk menjabat staf pengajar di Universitas Kairo jurusan Filsafat, untuk kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan Filsafat Islam. Reputasi internasionalnya sebagai pemikir muslim terkemuka mengantarkannya pada beberapa jabatan Guru Besar luar biasa (Visiting prifesor) di berbagai perguruan tinggi asing, seperti Belgia (1970), AS (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985), dan Uni Emirat Arab (1985).
B.     Pengertian Hermeneutika
Secara harfiah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunaninhermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam metologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung Hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani, Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Peran Hermes dalam hal ini dianggap sangat urgen, karena sebagai penyampai pesan-pesan suci dari Tuhan. Maka, konsekuensinya jika penerjemahan itu salah, secara tidak langsung merombak vitalitas kesakralan pesan Tuhan. Dan, jika keliru dalam hal interpretasi, pastilah ajaran dan misi Tuhan kepada manusia akan mengalamai disorientasi.
The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi bibel. Tujuan dari hermeneutika sendiri adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dan, hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau filsafat tentang penafsiran yang sangat bisa berbeda dengan Al-Quran.[1]
            Sejauh ini, sebuah metode yang dinamakan “hermeneutika” menjadi sangat ramai dalam pembahasan sebagai bahan interpretasi pada sebuah teks.
C.    Latar Belakang Hasan Hanafi Menafsirkan al-Qur’an
Hanafi merupakan pemikir muslim radikal dan kritis baik terhadap gerakan Islamis maupun Barat yang mencoba mendominasi Islam. Oleh karena itu, dia berusaha merekonstruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat membebaskan umat Islam dari segala bentuk penindasan.
Di samping menguasai pemikiran Islam, Hassan Hanafi juga menguasai pemikiran Barat dengan baik. Menurutnya, dunia Islam kini sedang menghadapi dua ancaman besar baik secara internal maupun secara eksternal. Ancaman dari dalam Islam adalah berupa kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan. Sedangkan dari luar Islam yakni imperialisme, zionisme dan kapitalisme.
Kemunculan Hassan Hanafi pada dekade 1980 mendapat  perhatian luas dengan gerakan yang dipelopori dirinya, al Yasar al Islami (Kiri Islam). Lahirnya  Al Yasar Al Islami atau dikenal juga dengan At-turats wa at-tajdid (tradisi dan modernisasi)  merupakan proyek pembaharuan Hassan Hanafi yang bertopang pada tiga pilar utama. Pertama, revitalisasi khasanah klasik Islam. Kedua, perlunya menentang peradaban Barat. Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam. Pada bagian terakhir ini, Hanafi mengusulkan al tafsir al syu'ur suatu metode tafsir di mana realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri.
Hassan Hanafi memandang bahwa peradaban Islam merupakan upaya perjanjian wahyu secara metodologis dan intelektual bagi dunia dalam suatu periode sejarah dan sosiologi tertentu. Bagi Hanafi, persoalannya bukan terletak pada al-Qur’an, melainkan bagaimana wahyu al-Qur’an itu dapat dihadirkan secara interpretatif dan bagaimana struktur teortitis menyajikannya. hal itu tidak dimaksudkan oleh Hanafi bahwa penyajian wahyu yang telah berlangsung selama ini salah. Melainkan, hal itu dipandang sebagai satu pilihan di antara pilihan-pilihan yang lain sesuai dengan tuntunan  zaman.
Dengan kata lain bisa dijeaskan bahwa Hanafi merumuskan proyek at-Turāts wa at-Tajdīd  berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan. Pertama, rekonstruksi tradisi Islam dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis yang mencerminkan ”apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawqifunā min al-qadīm)Kedua, rekonstruksi ulang terhadap batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin dalam ”sikap kita terhadap Barat” (mawqifunā minal-gharb). kemudian yang terakhir adalah, upaya membangun sebuah teori interpretasi al-Qur’an yang membebaskan yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, yang memposisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan. Agenda ketiga ini mencerminkan ”sikap kita terhadap realitas” (mawqifunā minal-wāqī).[2]
D.    Bangunan Hermeneutika Hasan Hanafi
Hanafi membangun sebuah metode Hermeneutika dengan mengusung kolaborasi antara disiplin keilmuan dari khazanah Islam klasik dan tradisi intelekual barat. Yaitu Ushul al-Fiqh, Hermeneutika, fenomenologi, dan Marxisme.
Keterkaitan Ushul al-Fiqh terutama konsep Asbab an-Nuzul, nasikh-mansukh, danmashlahah sebagai bagian dari hermeneutika, adalah untuk menunjukkan betapa pentingnya relasi wahyu dan realitas. Asbab an-Nuzul oleh Hanafi dimaksudkan untuk menunjukkan supremasi realitas terhadap wahyu, ia berpendapat bahwa tidak ada ayat atau surat yang tanpa didahului latar belakang pewahyuan. Sekalipun latar belakang ini harus dipahami dalam pengertian yang luas, yang bisa berupa kondisi, peristiwa, atau lingkungan di dalamnya sebuah ayat diturunkan; nasikh-mansukh  menunjukkan gradualisme dalam penetapan aturan hukum, eksistensi wahyu dalam waktu, peruahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselaransannya dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah.
Sementara konsep mashlahah merujuk pada pentingnya tujuan wahyu sebagai peristiwadalam sejarah. Menurut Hanafi, manusia mampu memahami peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan lahirnya wahyu atau dalam peristiwa di mana wahyu menjadi signifikan dan secara bersamaan disepakati masyarakat (ijma’) sebagai kepentingan bersama (mashlahah).
Dalam kerangka hermeneutik berikutnya, Hanafi menerima pandangan Hans-George Gadamer bahwa setiap pembaca (penafsir), dalam melakukan interpretasi harus berangkat dari asumsi-asumsi awal, horizon, wawasan dan pengaruh-pengaruh intern pada dirinya yang bersumber dari berbagai pengalaman-pengalaman intelektualnya,  tahap ini disebut sebagai prapemahaman dalam proses interpretasi.
Dengan demikian, menurut Hanafi, suatu  pemahaman terhadap teks  tidak dapat mengabaikan historisitas penafsiran. Setiap teks berangkat dari prapemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan penafsir dalam teks. Penafsir adalah kegiatan produktif dan bukan reproduksi makna. Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tetapi juga karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi karena telah kehilangan konteks ekstensialnya. Dengan kata lain, kalaupun makna awal berhasil ditemukan, ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa teks ataupun penafsiran selalu memiliki nilai historis tersendiri.
Metode yang mempengaruhi pemikiaran Hanafi selanjutnya adalah fenomenologi. Sebuah metode yang sangat berguna untuk mempertajam analisis terhadap realitas, dalam hal ini realitas yang dimaksud Hanafi adalah relitas ekonomi, politik, khazanah Islam, sekaligus realitas tantangan peradaban Barat. Dengan metode ini realitas dunia Islam diharapkan mampu berbicara bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain fenomenologi memberikan sebuah analisis Islam alternatif yang dapat menghindarkan semangat metafisis yang menurut Hanafi tidak relevan untuk menggambarkan realitas manusiawi dan Ilahi.
Dari segi metodologis, pengaruh marxisme begitu kental dalam hermeneutiknya, hal ini bisa dilihat dari pemikirannya yang senantiasa mengaitkan hermeneutika pada “praksis” dalam hubungan antara interpretasi dengan realitas. Dalam Marxisme klasik dikenal filsafat bernalar dan materialisme historis. Dalam upaya untuk menajamkan kritik terhadap realitas dan pengujian teks pada realitas, Hanafi banyak meminjam instrumen Marxisme, khususnya metode dialektika.
Peran marxisme ini pada gilirannya akan menemukan pisau analisis yang tajam tentang masyarakat dan realitas yang menjadi tujuan hermeneutiknya. Dalam pandangan Hanafi, jika metode (Marxisme) ini diterapkan makan akan menemukan kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas, kekuasaan-oposisi, demikian halnya dengan sifat dasar teks. Struktur teks yang bersifat ganda tersebut kemudian melahirkan hermeneutika progresif dan konservatif. Hermeneutika konservatif beranjak dari teks, mendasarkan diri pada makna literal dan makna otonom, dan aturan yang didasarkan pada realitas yang diandaikan, dan menganggap teks sebagai nilai per se. Sementara hermeneutika progresif menganggap teks sekedar alat, kehidupan nyata (justru) adalah nilai absolut yang perlu diperhatikan
Pengaruh marxisme terhadap pemikiran Hanafi mengantarkan pada suatu unsur-unsur ideologi revolusioner untuk melakukan tafsir ulang terhadap agama. Seperti,  melakukan melakukan pemaknaan ulang terhadap Tauhid. Tauhid dimaknai sebagai rasa tunduk hanya kepada Tuhan, sehingga tunduk terhadap selain kekuasanNya adalah bentuk pengingkaran terhadap Tuhan itu sendiri. Ia menegaskan bahwa; ketika sesorang mengatakan la Ilaha illallah berarti harus melakukan penolakan dan penerimaan sekaligus. Melakukan penolakan terhadap seluruh Tuhan palsu yang ada pada zamannya, menolak setiap keadaan dimana orang-orang justru menyatakan dirinya Tuhan dengan memperalat dan mengkonsterasikan harta  kekayaan untuk golongannya sendiri. Dan penerimaan adalah menyetujui bahwasannya harus tidak ada kelas-kelas yang mendominasi dalam struktur masyarakat. Pemaknaan ini untuk mereduksi kesenjangan teori dengan kaitan praksis melalui pemaknaan ulang terhadap agama yang bersifat non-materalistik, sehingga include dengan nilai-nilai islam.
Melalui marxisme, Hanafi mengajak interpreter berangkat dari dan menuju praksis. Ia mengklaim jika hermeneutika semacam ini sejalan dengan fenomenologi, maka dapat menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan revolusi (massa), dari tradisi menuju modernisasi. Penggunanaan Marxisme dan fenomenologi ini pada saat yang sama memberikan kemungkinan akan menemukan Ego dan cogito sosio-politik yang baru, afirmasi individu, hak-hak kelompok, rakyat dan bangsa.[3] 
E.      Pemikiran Dan Sistematika Hermeneutik Hasan Hanfi
Manurut Hanafi, ada dua perbedaan terbesar yang substansial antara hermeneutika Barat dengan Islam. Dalam hermeneutika Yunani dan Kristen Barat, tugas Rasul (Tuhan Hermes/Christ) adalah menerjemahkan pesan Tuhan kepada umat manusia. Begitu pula, dalam tradisi Islam, Malaikat Jibril (Roh Kudus) tidak mempunyai hak untuk menerjemahkan wahyu teks Allah, karena dia hanya seorang mediator antara dia dengan Nabi Muhammad Saw.
Menurut Hanafi, dengan “kesadaran yang netral” Jibril mendiktekan wahyu Allah. Hanafi menegaskan, “i authenticite de I information”, “depend de la neutralite de la consience du rapporteur.”. pada gilirannya, seperti Jibril, Nabi Muhammad Saw harus mengadopsi kesadaran netral (al-wa’yu) dalam menyampaikan ayat-ayat Tuhan. Seperti kitab suci lainnya, Al-Quran adalah sebuah teks kuno bagi pembacanya, dan oleh karena itu diperlukan permasalahan psikologis (yakni, permasalahan menjembatani perbedaan budaya dan waktu antara pengarang dengan pembacanya).
             Dalam pendekatan fenomenologi Hanafi, hermeneutika adalah ilmu yang menentukan relasi antara kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab suci.  Hermeneutik Hasan hanafi dibangun dari berbagai pengandaian dalam fenomenologi dan Marxisme, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak belakang yang ia sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika filosofis.[4]
Di sini Hasan Hanafi menyaratkan beberapa langkah sistemik dalam merealisasikan hermeneutikanya yaitu:
Pertama, merumuskan komitmen sosial politik. Bagi Hanafi, seorang penafsir bukanlah orang yang netral, karena ia berada hidup dalam lingkaran peristiwa di suatu negara termasuk berbagai krisis di dalamnya. Oleh sebab itu, ia harus menempatkan diri pada kelompok yang tertindas dan minoritas. Dengan begitu seorang penafsir diharapkan menjadi reformis, aktor soisal, dan revolusioner.
Kedua, mencari sesuatu. seorang mufasir semestinya sudah mempunyai tema tertentu yang ingin ia ketahui sebelum memulai penafsiran. Dengan kata lain, kegiatan interpretasi tidak lain bertujuan untuk mencari sebuah solusi atas suatu masalah.
Ketiga, mensipnosis ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema tertentu. Ayat-ayat yang berhubungan dengan tema tertentu tersebut dikumpulkan dengan teliti, dibaca secara simultan, lalu dipahami berulang-ulang sampai orientasi umumnya dapat ditemukan.
Keempat, mengklasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Sebab melalui analisis linguistik orientasi suatu makna dapat diketahui.
Kelima, membangun struktur yang ideal. Setelah orientasi makna didapatkan, penafsir berusaha membangun suatu struktur, berangkat dari makna menuju suatu objek.
Keenam, menganalisis situasi faktual. Yaitu menghubungkan dengan situasi nyata, misalnya situasi negara yang dilanda keterpurukan kekuasaan, kesejahteraan, hak asasi manusia, dan sebagainya.
Ketujuh, membandingkan yang ideal dengan yang riil (kondisi realitas).
Kedelapan, mendeskripsikan model-model aksi. Setelah ditemukan adanya kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi sosial merpakan langkah paling penting dari proses interpretasi. Dengan demikian penafsir harus mampu mentransformasikan diri dari teks ke aksi.[5] 
III. Kesimpulan
Hassan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Dia merupakan seorang pemikir Hukum Islam dan professor filsafat terkemuka di Mesir yang menguasai tiga bahasa sekaligus: Arab, Prancis, dan Inggris
Sejauh ini, sebuah metode yang dinamakan “hermeneutika” menjadi sangat ramai dalam pembahasan sebagai bahan interpretasi pada sebuah teks.
Hanafi merupakan pemikir muslim radikal dan kritis baik terhadap gerakan Islamis maupun Barat yang mencoba mendominasi Islam. Oleh karena itu, dia berusaha merekonstruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat membebaskan umat Islam dari segala bentuk penindasan.
Hanafi membangun sebuah metode Hermeneutika dengan mengusung kolaborasi antara disiplin keilmuan dari khazanah Islam klasik dan tradisi intelekual barat. Yaitu Ushul al-Fiqh, Hermeneutika, fenomenologi, dan Marxisme.
Menurut Hanafi, dengan “kesadaran yang netral” Jibril mendiktekan wahyu Allah. Hanafi menegaskan, “i authenticite de I information”, “depend de la neutralite de la consience du rapporteur.”. pada gilirannya, seperti Jibril, Nabi Muhammad Saw harus mengadopsi kesadaran netral (al-wa’yu) dalam menyampaikan ayat-ayat Tuhan.



Daftar Pustaka
afabagus , http:/2013/12/hermeneutika-hasan-hanafi.html (diunduh 29-05-2015).
Hanafi, Hassan. Islamologi, Dari Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih, (yogyakarta: LkiS, 1992).
Husaini, Adian. Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, (Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008).





[1]Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran,(Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008), hal 7-8
[3] Hassan Hanafi, Islamologi, Dari Teologi Statis ke Anarkis, (yogyakarta: LkiS, 1992), hlm. 108
[4] afabagus , http:/2013/12/hermeneutika-hasan-hanafi.html (diunduh 29-05-2015)

0 komentar:

Posting Komentar

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com