TEKS BERJALAN KE KIRI

Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 11 Mei 2015

Lawrence Andrew Rippin
Beserta Pemikiran Orientalisnya
Oleh:
Hasnan Adip Avivi


I.       Pendahuluan
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan beberapa kenikmatan serta hidayahNya sehingga kita semua masih dalam lindunganNya yang baik. Serta selawat dan salam kami ucapkan pada Nabi kita, dengan penuh harapan syafaatnya mengiringi kita semua dalam hal apapun, khususnya ketika belajar. Amin.
Usaha memahami makna al-Qur’ân muncul sejak ayat-ayatnya diterima Nabi Muhammad pada tahun 61O M. Usaha pemahaman tersebut kemudian dikenal dengan Tafsir, yaitu suatu studi yang teratur memahami makna al-Qur’ân. mulai dari huruf per huruf, kata per kata, kalimat per kalimat hingga surah per surah. Ada yang melakukannya dengan tafsir ayat dengan ayat, ada juga dengan ayat dengan hadits. Ada pula dengan pendekatan pemikiran (bi al-ra'yi atau bi al-ma'qûl) ada juga dengan bi al-ma'tsûr. Namun, dalam pendekatan modern, tafsir kemudian berkembang seiring dengan perhatian non-Muslim atau terutama Barat (Orientalis) dalam studi tafsir. Terma-terma serta konsep-konsep yang digunakannya tentu juga muncul berdasarkan pengalaman, tradisi, dan pengetahuan mereka itu. Teori, pendekatan. dan metodologi Barat, serta jargon dan terminologinya. kemudian tidak terhindarkan.
Makalah ini akan mengetahui bagaimana cara orientalis mempelajari Tafsir, terutama hal ini Andrew Rippin, seorang spesialis dalam Studi Islam dengan perhatian utamanya adalah al-Qur’ân serta sejarah interpretasinya. Dengan kata lain, bagaimana bingkai berpikir Andrew Rippin, pendekatan dan metodologi Rippin dalam memahami kajian tafsir serta kritiknya terhadap asbab an-nuzul.
II.    Pemikiran Dan Orientalis Andrew Rippin
A.    Biogrrafi Andrew Rippin
Lawrence Andrew Rippin lahir pada tanggal 16 Mei 1950 di London, Inggris. Andrew Rippin adalah seorang mahasiswa di University of Toronto di sana  ia mendapat gelar BA pada tahun 1974 dan 3 tahun kemudian dia berhasil menyelesaikan magisternya dalam bidang kajian Islam dengan desertasi dengan judul The Quranic asbabu nuzul material (bahan asbabun nuzul al-Quran). Rippin berhasil memperoleh gelar P.Hd dalam bidang kajian tafsir di Universitas Mc Gill pada tahun 1981.
Sejak itu, Rippin amat produtif dalam bdang studi islam serta al-Quran dan sejarah penafsirannya. Dalam banyak pertemuan ilmiah di luar kampus tempat kerjannya, Rippin cukup aktif, baik sebagai anggota ataupun sebagai pengurus berbagai organesiasi professional dan keilmuan. Rippin banyak menerima award dari social sciences dan humaties of Canada.[1]
B.    Metodologi dan pendekatan Andrew Rippin
Rippin dalam penelitiannya menggunakan metodologi analisis literer sebagaimana gurunya wonsbrough, dia, pada sebagian besar karyanya senang meneliti satu konsep atau terma tertentu. Umpamanya kata نحن atau kami atau وجه الله  dalam al-Quran, namun demikian berbeda dari analisis maudlu’i. Rippin mendekati suatu kata berdasarkan karya historisitas penulis muslim awal. Kendati hanya pada literature yang hanya dia dapat akses (maksudnya tentu masih banyak karya yang belum tersingkap atau terakses olehnya. Dia juga membatasi dirinya pada karya-karya Arab kalautoh ada dari Persia hanya segelintir saja, bahasa Turki dan bahasa muslim lainnya belum sempat ia gunakan.[2]
Salah satu artikel Rippin adalah tentang fungsi asbabun nuzul dalam tafsir al-Quran (1988), dia menelusuri apakah asbabun nuzul itu mengikuti pola haggadig atau halakhiq dengan mengaplikasikan pendekatan analisis litere terhadap naratif asbabun nuzul. Kesimpulannya adalah fungsi utama asbabun nuzul itu dalam teks tafsir bukanlah bentuk halakhiq namun peran utama bahan-bahan tersebut ditemukan dalam bentuk haggadig yaitu, asbabun nuzul berfungsi untuk menyediakan interpretasi tentang satu ayat dalam sebuah kerangka naratif.
Karya terakhir yang dapat di elaborasi adalah nilai puisi permainan kata-kata dalam al-Quran karya Rippin (1994), ini juga menggunakan analisis literer tapi, kali ini lebih kepada bagaimana permainan kata-kata ini membawa pesan terhadap pembaca al-Quran. Dan melihat bagaimana memahami suara music yang bercampur dengan suara argumentasi dalam teks itu, dengan kata lain apakah permainan kata-kata itu produktif dalam melahirkan diskursus yang bersifat Qurani? Dalam tulisan ini, Rippin mendekati permasalahan dengan memilih kata-kata yang punya makna ganda padahal diletakkan dalam satu ayat umpamanya, kata السّاعة QS. 30: 55, yang bisa bermakna waktu biasa tetapi juga bisa bermakna hari kiamat. Rippin berkesimpulan bahwa kata-kata dalam al-Quran itu tentu saja sebuah fenomena yang merupakan bagian dari proses temuan pembaca terhadap al-Quran dan contoh-contoh yang dikemukakan tersebut merupakan suatu tekanan retorika dalam teks. Jadi retorikal analisis juga digunakan. Bagaimana cara sebuah kata dianalisis merupakan bagian dari makna yang disampaikannya serta pesan ditekankan melalui fokabolari yang digunakannya, hal ini menggaris bawahi bahwa kata-kata itu pada kenyataanya dapat menghantarkan makna hanya melalui konteks. Sebaliknya kesederhanaan pertanyaan sebuah permainan kata-kata tersebut dalam al-Quran sering dibutuhkan ketika menanyakan soal produktifitasnya. Permainan kata bukanlah landasan utama bagi elaborasi negative yang Qurani.[3]
C.   Andrew Rippin “Kritik Kodifikasi al-Quran”
Andrew Rippin mengamini pendapat Wansbrough bahwa kodefikasi teks al-Quran terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijriah. Oleh sebab itu, semua Hadis yang menyatakan tentang himpunan al-Quran harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis. Semua informasi tersebut adalah fiktif yang punya maksud-maksud tertentu. Semua informasi tersebut mungkin dibuat oleh para fuqaha untuk menjelaskan doktrin-doktrin syari’ah yang tidak ditemukan di dalam teks, atau mengikuti model periwayatan teks orisinal pantekosta dan kanonisasi kitab suci Ibrani.[4]
Masih menurut keduanya, untuk menyimpulkan teks yang diterima dan selama ini diyakini oleh kaum Muslimin sebenarnya adalah fiksi yang belakangan yang direkayasa oleh kaum Muslimin. Teks al-Quran baru menjadi baku setelah tahun 800 M. Lebih jauh lagi Rippin mengatakan, Al-Quran tidak diturunkan kepada satu orang, tetapi merupakan kumpulan atau pengeditan oleh sekelompok orang selama beberapa abad. Jadi, al-Quran yang kita baca sekarang tidak sama dengan apa yang ada pada abad ke 7M. kemungkinan merupakan hasil abad 8M dan 9M.
Akibatnya tahap pembentukan Islam tidak berlangsung pada masa Muhammad, namun berkembang selama 200-300 tahun berikutnya. Sumber-sumber materi bagi periode ini, sangat sedikit. Dan di luar dugaan, semua sumber berusia jauh setelah abad 7. Sebelum 750 M tidak ada dokumen yang bisa diverifikasi yang bisa menjelaskan periode pembentukan Islam ini. Periode klasik ini menggambarkan masa lalu tetapi dari sudut pandangnya sendiri, seperti orang dewasa menulis tentang masa kecilnya yang cenderung mengingat hal-hal yang manis saja. Sehingga kesaksian ini bersifat tidak obyektif dan oleh karena itu tidak dapat diterima sebagai otentik.
Menurut Rippin, muslim ortodok percaya penuh bahwa wahyu Islam adalah intervensi ilahi lewat Jibril selama periode 22 tahun, masa yang menetapkan hukum dan tradisi yang akhirnya membentuk Islam. Tetapi hal ini diragukan, kata Rippin, bahwa pada abad ke 7, Islam, sebuah agama yang terdiri dari hukum dan tradisi yang njlimet dibentuk dalam sebuah budaya nomad terbelakang dan berfungsi penuh dalam hanya 22 tahun. Wilayah Arabia sebelumnya tidak dikenal sebagai dunia beradab. Periode ini bahkan dicap sebagai periode jahiliyah. Wilayah Arabia sebelum Muhammad tidak memiliki budaya maju, apalagi infrastruktur yang diperlukan untuk menciptakan keadaan yang mendukung pembentukan Islam. Jadi, bagaimana Islam diciptakan secepat dan serapih itu? Dalam lingkungan padang pasir yang terbelakang lagi.[5]
III. Kesimpulan
Lawrence Andrew Rippin lahir pada tanggal 16 Mei 1950 di London, Inggris. Andrew Rippin adalah seorang mahasiswa di University of Toronto di sana  ia mendapat gelar BA pada tahun 1974 dan 3 tahun kemudian dia berhasil menyelesaikan magisternya dalam bidang kajian Islam dengan desertasi dengan judul The Quranic asbabu nuzul material.
Rippin dalam penelitiannya menggunakan metodologi analisis literer sebagaimana gurunya wonsbrough, dia, pada sebagian besar karyanya senang meneliti satu konsep atau terma tertentu. Umpamanya kata نحن atau kami atau وجه الله  dalam al-Quran, namun demikian berbeda dari analisis maudlu’.
Andrew Rippin mengamini pendapat Wansbrough bahwa kanonisasi teks al-Quran terbentuk pada akhir abad ke-2 Hijriah. Oleh sebab itu, semua Hadis yang menyatakan tentang himpunan al-Quran harus dianggap sebagai informasi yang tidak dapat dipercaya secara historis.
Menurut Rippin, muslim ortodok percaya penuh bahwa wahyu Islam adalah intervensi ilahi lewat Jibril selama periode 22 tahun, masa yang menetapkan hukum dan tradisi yang akhirnya membentuk Islam.
Karya terakhir yang dapat di elaborasi adalah nilai puisi permainan kata-kata dalam al-Quran karya Rippin (1994), ini juga menggunakan analisis literer tapi, kali ini lebih kepada bagaimana permainan kata-kata ini membawa pesan terhadap pembaca al-Quran. Dan melihat bagaimana memahami suara music yang bercampur dengan suara argumentasi dalam teks itu, dengan kata lain apakah permainan kata-kata itu produktif dalam melahirkan diskursus yang bersifat Qurani? Dalam tulisan ini, Rippin mendekati permasalahan dengan memilih kata-kata yang punya makna ganda padahal diletakkan dalam satu ayat umpamanya, kata السّاعة QS. 30: 55.



Daftar Pustaka
Bakti, Andi Faisa., “Paradigma Andrew Rippin”, dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol, I, No. 2, 2006.
Bhaidhawy, Zakiyuddin. Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama,(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002),
Oimbocahmanut , http:/ /2014/05/kritik-andew-rippin-terhadap-asbab.html (diunduh 01-05-2015)



[1] Oimbocahmanut , http:/ /2014/05/kritik-andew-rippin-terhadap-asbab.html (diunduh 01-05-2015)
[3] Andi Faisal Bakti, “Paradigma Andrew Rippin”, dalam Jurnal Studi al-Quran, Vol, I, No. 2, 2006.Hal. 33
[4]Ibid,. Hal 82

[5]Zakiyuddin Bhaidhawy . Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama,(Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), Hlm. 262.

Jumat, 08 Mei 2015

Tafsir al-Iklil Karya KH. Misbah Mustofa

Tafsir al-Iklil Karya KH. Misbah Mustofa
(al-Iqlil Fi Ma’ani at-Tanzil)
Oleh :

Hasnan Adip Avivi

I.       Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai kitab suci dan pedoman hidup manusia memiliki karakteristik yang terbuka untuk ditafsirkan, ini dapat dilihat dalam realitas sejarah penafsiran al-Qur’an sebagi respon umat Islam dalam upaya memahaminya. Pemahaman atasnya tidak pernah berhenti, tetapi terus berkembang secara dinamis mengikuti pergeseran zaman dan putaran sejarah. Inilah yang menyebabkan munculnya beragam madzhab dan corak dalam penafsiran al-Qur’an.
Studi atas Al-Quran telah banyak dilakukan oleh para ulama dan sarjana tempo dulu, termasuk para sahabat di zaman Rasulullah Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam. Hal itu tidak lepas dari disiplin dan keahlian yang dimiliki oleh mereka masing-masing. Ada yang mencoba mengelaborasi dan melakukan eksplorasi lewat perspektif keimananm historis, bahasa dan sastra, pengkodifikasian, kemu’jizatan penafsiran serta telaah kepada huruf-hurufnya.
Kondisi semacam itu bukan hanya merupakan artikulasi tanggung jawab seorang Muslim untuk memahami bahasa-bahasa agamanya. Tetapi sudah berkembang kepada nuansa lain yang menitikberatkan kepada studi yang bersifat ilmiah yang memberikan kontribusi dalam perkembangan pemikiran dalam dunia Islam. Kalangan sarjana Barat banyak yang melibatkan diri dalam pengkajian Al-Quran, dengan motivasi dan latar belakang kultural maupun intelektual yang berbeda-beda.
II.    Metode Dan Penjelasan Kitab
A.    Biografi Misbah Mustofa
KH. Misbah adalah seorang pengasuh Pondok Pesantren al-Balagh, Bangilan, Tuban, Jatim. Ia dilahirkan di pesisir utara Jawa Tengah, tepatnya di kampung Sawahan, Gang Palem, Rembang tahun 1916 dengan nama Masruh. Ia lahir dari pasangan keluarga Zaenal Musthafa dan Khadijah. Ayahnya dikenal masyarakat sebagai orang yang taat beragama, di samping sebagai pedagang yang sukses dalam usaha menjual batik-batik yang berkualitas. Oleh karena itu, keluarga Masruh dikenal sebagai keluarga yang cukup berada secara ekonomi untuk ukuran saat itu, di saat ekonomi Indonesia umumnya sangat memperihatinkan sebagai dampak adanya imperialisme politik dan ekonomi pihak penjajah. Keberangkatan Masruh bersama orangtua dan seluruh anggota keluarga menunaikan ibadah haji merupakan Indikator yang menunjukkan kemampuan ekonomi orangtuanya. Sepulangnya dari menunaikan ibadah haji tersebut, Masruh kemudian mengganti namanya dengan Misbah Musthafa.
Saat ayahnya meninggal, usia Misbah terhitung masih remaja. Misbah bersama saudara-saudaranya yang lain kemudian diasuh oleh kakak tirinya yang bernama Zuhdi. Oleh karena itu, meskipun orangtua Misbah “berada” tetapi Misbah sudah mengalami hidup yang memprihatinkan sejak ditinggal ayahnya. Inilah salah satu motivasi Misbah untuk selalu menulis dan menerjemahkan kitab-kitab kuning bahkan sejak dia masih berada di Pondok Pesantren. Hasil karangan dan terjemahannya kemudian ia jual untuk memenuhi kebutuhan atau biaya hidup selama belajar di Pondok Pesantren. Tradisi inilah kemudian ia kembangkan hingga wafatnya. Tidak ada waktu luang bagi Misbah kecuali ia manfaatkan untuk menulis dari tangannya kemudian lahir karyakarya tulisan dan terjemahan kitab klasik yang sangat banyak. Tradisi menulis ini yang dikembangkan oleh kakak kandungannya bernama Bisri yang lebih dikenal dengan nama lengkap Bisri Musthafa pengarang Kitab Tafsir al-Ibriz li Ma’rifati al-Qur'an al-Aziz.
Latar belakang intelektual Misbah dimulai ketika ia mengikuti pendidikan sekolah dasar yang saat itu diberi nama SR (Sekolah Rakyat) pada usianya yang baru menginjak 6 tahun. Setelah menyelesaikan studinya Misbah kemudian melanjutkan pendidikan di PonPes Kasingan Rembang pimpinan KH. Khalil bin Harun pada tahun 1928 M. Orientasi pendidikan Misbah difokuskan untuk mempelajari ilmu gramatika bahasa Arab yang lebih dikenal dengan nama nahwu sharaf, buku-buku yang cukup familier bagi Misbah antara lain; Kitab al-Jurumiyah. Al-Imriti dan alfiyah. Bahkan pada usianya yang muda Misbah berhasil mengkhatamkan alfiyah sebanyak 17 kali. Hal ini menunjukkan keseriusan dan ketekunan Misbah dalam mempelajari nahwu sharaf. Setelah merasa paham dan matang Misbah kemudian mengkaji “Kitab Kuning” dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keagamaan, seperti fiqih, ilmu kalam, hadits, tafsir, dan lain-lain.
Beliau juga belajar pada beberapa ulama salah satunya yang paling mashur yaitu, KH Kholil, ia juga mengkaji ilmu-ilmu agama kepada KH. Hasyim Asy’ari untuk mempelajari kitab kuning. Kemudian pada tahun 1948, Misbah menikah dengan Masruhah dan pindah ke Bangilan Tuban, sekaligus membantu mengajar di Ponpes yang dipimpin mertuanya itu. Sudah menjadi sebuah tradisi saat itu, ketika santri (siswa PonPes) yang cukup menonjol secara intelektual akan “diperebutkan” untuk dinikahkan dengan putri kyai pengasuh PonPes. Motivasi ini pula yang melatarbelakangi keinginan KH. Ridhwan untuk menikahkan anaknya dengan Misbah. KH. Ridhwan telah melihat potensi Misbah dalam bidang akademik selain kecerdasan yang dimilikinya. Oleh karena itu, setiap ilmu yang diajarkan dengan cepat ia serap. Karena potensinya itu, KH. Ridhwan mengharapkan Misbah untuk mengurus PonPes “al-Balagh” yang ia pimpin manakala ia belum meninggal dunia. Pada awalnya Misbah merasa keberatan atas tawaran yang diberikan KH. Ridhwan untuk mengelola PonPes al-Balagh, namun karena keyakinan akan kemampuan yang dimilikinya, Misbah akhirnya terpacu untuk mempelajari kitab kuning sendiri dengan bekal yang diperoleh ketika belajar di PonPes Kasingan bersama KH. Kholil maupun PonPes Jombang bersama KH. Hasyim Asy’ari.[1]
B.  Karya-Karya Misbah Mustofa
Keseriusan Misbah dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaan kemudian diwujudkan dengan banyak menerjemahkan kitab-kitab klasik atau kitab-kitab keagamaan. Sekitar puluhan atau bahkan ratusan yang ditulisnya, baik dalam bidang tafsir, hadits, fiqh, akhlak, balaghah, kaidah bahasa Arab, dan lain-lain antara lain:
Dalam bidang fiqh
a.         Al-Muhadzab terjemahan dalam bahasa Indonesia.
b.        Minhajul Abidin terjemahan dalam bahasa Jawa dengan penerbit.
c.         Masail al-Faraid dalam bahasa Jawa dengan.
Dalam bidang kaidah bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, dan Balaghah)
a.         Alfiyah Kubra dalam bahasa Jawa
 b.        Nadham Maksud dalam bahasa Jawa.
c.         Nadham Imrithi dalam bahasa Jawa dengan.
C. Latar Belakang Penulisan
KH. Misbah bin Zainil Musthafa menulis kitab tafsir al-Iklil menerangkan setiap orang Islam wajib mengakui bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci dari Allah yang wajib dijadikan tuntunan hidup oleh setiap hamba-Nya yang ada di bumi ini, dengan artian al-Qur’an menjadi imamnya (pembimbing). Orang Islam tidak boleh hidup sebagaimana hidupnya orang Kafir, Hindu, Budha atau Agama-agama lainnya. Akan tetapi harus hidup dengan tuntunan al-Qur’an, karenahal yang demikian sangat sulit mendapatkan satu dari sejuta orang yang menjadikan al-Qur’an sebagai tuntunan hidupnya secara utuh.[2]
C.    Metode Dan Contoh Penafsiran
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Misbah bin Zainil Musthafa menerangkan ayat demi ayat secara terperinci, lugas dan  tidak bertele-tele sehingga sangat tepat di konsumsi untuk kalangan awam padaumumnya dan kalangan pesantren khususnya. Melihat cara penafsiran yang dugunakan penulis menyimpulkan bahwa tafsir al-Iklil menggunakan metode penafsiran secara tahlili. Kemudian dalam menafsirkan ayat penulis menilai penguasaan bahasa Arab yang cukup baik, hal ini di dukung dengan uraian makna kata pada aspek nahwu dan shorof, sehingga baik terjemah maupun penafsiran yang diberikan tidak keluar jauh dari makna sesungguhnya.
قل هو الله احد
Dawuh sinten Muhammad Allah Utawi Allah iku dzat kang siji
الله الصمد
Utawi Allah iku dzak kang butuhake kabeh mahluk
لم يلد ولم يلد
ora manak lan ora di anaake
ولم يكن له كفواأحد
Lan ora ono marang Allah iku madani sopo siji mahluk
Terejemah surat al-Ihlas
Surat Ihlas iki surat makiyah ayate ono papat, dawuhna Muhammad ! Allah iku namung siji, allah Dzat kang lengkap, Allah ora kagungan anak, lan ora di anaake deneng liyane, ora ono kang madani Allah ono ing perkoro Dzatte, utowo penguatane utowo sifat-sifatte.
Penjelsan Surat al-Ihlas
Yen kito wes ngerti isine surat iki, kito kudu waspodo , madep marang Allah ing tingkah sholat utowo ora tingkah ora sholat, menowo ono bayangan ono ing penyegaran-penyegaran songko madangi pikiran, kudu engal di singkerake, kabeh gambaran kang ono ing penyegaran-penyegaranmesti dudu allah, yen ono suworo kang di runggu kuping utowo basana basanik ono ing ati ojo pisan-pisan di angep iku dawuhe Allah, koyo angepane wong kang ngelakoake ngilmu jowo koyo saptadarma lan liyane. Kanjeng rosul Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallam wus dawuh : Tafakaru fil Halqi wa la Tafakaru fil Halqi, (podo pikir pikir siro kabeh ono ing mahluk gegaeane Allah ojo podo mikir-mikirono ing Dzatkang gawe mahluk yoiku Allah).[3]
III. Kusimpulan
            Misbah dilahirkan di pesisir utara Jawa Tengah, tepatnya di kampung Sawahan, Gang Palem, Rembang tahun 1916 dengan nama Masruh.
            Latar belakang intelektual Misbah dimulai ketika ia mengikuti pendidikan sekolah dasar yang saat itu diberi nama SR (Sekolah Rakyat) pada usianya yang baru menginjak 6 tahun. Setelah menyelesaikan studinya Misbah kemudian melanjutkan pendidikan di PonPes Kasingan Rembang pimpinan KH. Khalil bin Harun pada tahun 1928 M.
            Keseriusan KH. Misbah dalam mempelajari ilmu-ilmu keagamaan kemudian diwujudkan dengan banyak menerjemahkan kitab-kitab klasik atau kitab-kitab keagamaan. Sekitar puluhan atau bahkan ratusan yang ditulisnya.
            Misbah bin Zainil Musthafa menulis kitab tafsir al-Iklil menerangkan setiap orang Islam wajib mengakui bahwa al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci dari Allah yang wajib dijadikan tuntunan hidup oleh setiap hamba-Nya yang ada di bumi ini, dengan artian al-Qur’an menjadi imamnya (pembimbing).
            Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an Misbah bin Zainil Musthafa menerangkan ayat demi ayat secara terperinci, lugas dan  tidak bertele-tele sehingga sangat tepat di konsumsi untuk kalangan awam padaumumnya dan kalangan pesantren khususnya. Melihat cara penafsiran yang dugunakan penulis menyimpulkan bahwa tafsir al-Iklil menggunakan metode penafsiran secara tahlili



Daftar Pustaka
anamko , kajian tafsir di indonesia tafsir al http://2013/08/kajian-tafsir-di-indonesia-tafsir-al.html
Misbah bin Zaini Mustofa, Tafsir Juz ‘ama, (Maktabah, al-Ahsan, Surabaya).
rachmatfatahillah , KH. Misbah dan kitab al iqli, lhttp://.blogspot.sg/2014/06/ - KH. Misbah i- dan - al iqli.html




[1] anamko , kajian tafsir di indonesia tafsir al , http://2013/08/kajian-tafsir-di-indonesia-tafsir-al.html (diunduh 25-04-2015)
[2] rachmatfatahillah , KH. Misbah dan kitab al iqli, lhttp://.blogspot.sg/2014/06/ - KH. Misbah i- dan - al iqli.html (diunduh 28-04-2015)
[3] Misbah bin Zaini Mustofa, Tafsir Juz ‘ama, (Maktabah, al-Ahsan, Surabaya).Hal.189

Selasa, 05 Mei 2015

HERMENEUTIKA AL-QUR’AN
HASAN HANAFI
oleh:
Hasnan Adip Avivi
                        
I.       Pendahuluan
Alhamdulillah, puji syukur kami haturkan kepada Allah Swt. yang telah memberikan beberapa kenikmatan serta hidayahNya sehingga kita semua masih dalam lindunganNya yang baik. Serta selawat dan salam kami ucapkan pada Nabi kita, dengan penuh harapan syafaatnya mengiringi kita semua dalam hal apapun, khususnya ketika belajar. Amin.
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk mempelajari dan memahaminya, melalui pentunjuk-petunjuknya yang tersurat maupun tersirat. Interpretasi dan kesadaran manusia untuk merealisasikan pemahamannya akan teks dalam kehidupan konkrit yang menyebabkan sebuah kitab suci menjadi agung dan bermakna, sebagai petunjuk sekaligus pedoman hidup yang tertuang dalam bentuk ajaran akidah, akhlak, hukum, falsafah, siyasah dan ibadah. 
            Sebagaimana yang terjadi dalam kalangan muslim terhadap penyikapan lahirnya sebuah metode hermeneutika yang menawarkan sebagai salah satu cara untuk menginterpretasikan teks, menimbulkan polemik dari beberapa ilmuwan muslim karena secara sadar khawatir akan hilangnya sakralitas teks.
            Pada kali ini, Hasan Hanafi yang menjadi kajian pemakalah. Hasan Hanafi yang dikenal sebagai ulama kontemporer Timur ini ternyata memiliki corak berbeda dengan lainya. Pada gaya berpikirnya, dia berusaha melakukan perlawanan terhadap Barat (istighrab). Jika dilihat dari spektrum teoritis filosofisnya.
II.    Hasan Hanafi Dan Pemikirah Hermeneutika
A.    Biografi Hasan Hanafi
Hassan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Dia merupakan seorang pemikir Hukum Islam dan professor filsafat terkemuka di Mesir yang menguasai tiga bahasa sekaligus: Arab, Prancis, dan Inggris. Sehingga buku dan karya ilmiahnya pun menggunakan tiga bahasa tersebut. Dia memperoleh gelar sarjana muda dalam bidang filsafat dari University of Cairo 1956. Tahun 1966 Dia mengntongi gelar Doktor dari La Sorbonne Prancis. Selama studi di Prancis Dia menjadi guru bahasa Arab di Ecole des Langues Orientales,Paris. Setelah selesai studi di Prancis. Dia kembali ke Mesir untuk menjabat staf pengajar di Universitas Kairo jurusan Filsafat, untuk kuliah Pemikiran Kristen Abad Pertengahan dan Filsafat Islam. Reputasi internasionalnya sebagai pemikir muslim terkemuka mengantarkannya pada beberapa jabatan Guru Besar luar biasa (Visiting prifesor) di berbagai perguruan tinggi asing, seperti Belgia (1970), AS (1971-1975), Kuwait (1979), Maroko (1982-1984), Jepang (1984-1985), dan Uni Emirat Arab (1985).
B.     Pengertian Hermeneutika
Secara harfiah, hermeneutika artinya “tafsir”. Secara etimologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunaninhermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk pada seorang tokoh mitologis dalam metologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes (Mercurius). Di kalangan pendukung Hermeneutika ada yang menghubungkan sosok Hermes dengan nabi Idris. Dalam mitologi Yunani, Hermes dikenal sebagai dewa yang bertugas menyampaikan pesan-pesan Dewa kepada manusia. Dari tradisi Yunani pula, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.
Peran Hermes dalam hal ini dianggap sangat urgen, karena sebagai penyampai pesan-pesan suci dari Tuhan. Maka, konsekuensinya jika penerjemahan itu salah, secara tidak langsung merombak vitalitas kesakralan pesan Tuhan. Dan, jika keliru dalam hal interpretasi, pastilah ajaran dan misi Tuhan kepada manusia akan mengalamai disorientasi.
The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi bibel. Tujuan dari hermeneutika sendiri adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dan, hermeneutika bukan hanya sekedar tafsir, melainkan satu “metode tafsir” tersendiri atau filsafat tentang penafsiran yang sangat bisa berbeda dengan Al-Quran.[1]
            Sejauh ini, sebuah metode yang dinamakan “hermeneutika” menjadi sangat ramai dalam pembahasan sebagai bahan interpretasi pada sebuah teks.
C.    Latar Belakang Hasan Hanafi Menafsirkan al-Qur’an
Hanafi merupakan pemikir muslim radikal dan kritis baik terhadap gerakan Islamis maupun Barat yang mencoba mendominasi Islam. Oleh karena itu, dia berusaha merekonstruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat membebaskan umat Islam dari segala bentuk penindasan.
Di samping menguasai pemikiran Islam, Hassan Hanafi juga menguasai pemikiran Barat dengan baik. Menurutnya, dunia Islam kini sedang menghadapi dua ancaman besar baik secara internal maupun secara eksternal. Ancaman dari dalam Islam adalah berupa kemiskinan, keterbelakangan dan ketertindasan. Sedangkan dari luar Islam yakni imperialisme, zionisme dan kapitalisme.
Kemunculan Hassan Hanafi pada dekade 1980 mendapat  perhatian luas dengan gerakan yang dipelopori dirinya, al Yasar al Islami (Kiri Islam). Lahirnya  Al Yasar Al Islami atau dikenal juga dengan At-turats wa at-tajdid (tradisi dan modernisasi)  merupakan proyek pembaharuan Hassan Hanafi yang bertopang pada tiga pilar utama. Pertama, revitalisasi khasanah klasik Islam. Kedua, perlunya menentang peradaban Barat. Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam. Pada bagian terakhir ini, Hanafi mengusulkan al tafsir al syu'ur suatu metode tafsir di mana realitas dunia Islam dapat berbicara sendiri.
Hassan Hanafi memandang bahwa peradaban Islam merupakan upaya perjanjian wahyu secara metodologis dan intelektual bagi dunia dalam suatu periode sejarah dan sosiologi tertentu. Bagi Hanafi, persoalannya bukan terletak pada al-Qur’an, melainkan bagaimana wahyu al-Qur’an itu dapat dihadirkan secara interpretatif dan bagaimana struktur teortitis menyajikannya. hal itu tidak dimaksudkan oleh Hanafi bahwa penyajian wahyu yang telah berlangsung selama ini salah. Melainkan, hal itu dipandang sebagai satu pilihan di antara pilihan-pilihan yang lain sesuai dengan tuntunan  zaman.
Dengan kata lain bisa dijeaskan bahwa Hanafi merumuskan proyek at-Turāts wa at-Tajdīd  berdasarkan tiga agenda yang saling berhubungan. Pertama, rekonstruksi tradisi Islam dengan melakukan interpretasi kritis dan kritik historis yang mencerminkan ”apresiasi terhadap khazanah klasik” (mawqifunā min al-qadīm)Kedua, rekonstruksi ulang terhadap batas-batas kultural Barat melalui pendekatan kritis yang tercermin dalam ”sikap kita terhadap Barat” (mawqifunā minal-gharb). kemudian yang terakhir adalah, upaya membangun sebuah teori interpretasi al-Qur’an yang membebaskan yang mencakup dimensi kebudayaan dari agama dalam skala global, yang memposisikan Islam sebagai fondasi ideologis bagi kemanusiaan. Agenda ketiga ini mencerminkan ”sikap kita terhadap realitas” (mawqifunā minal-wāqī).[2]
D.    Bangunan Hermeneutika Hasan Hanafi
Hanafi membangun sebuah metode Hermeneutika dengan mengusung kolaborasi antara disiplin keilmuan dari khazanah Islam klasik dan tradisi intelekual barat. Yaitu Ushul al-Fiqh, Hermeneutika, fenomenologi, dan Marxisme.
Keterkaitan Ushul al-Fiqh terutama konsep Asbab an-Nuzul, nasikh-mansukh, danmashlahah sebagai bagian dari hermeneutika, adalah untuk menunjukkan betapa pentingnya relasi wahyu dan realitas. Asbab an-Nuzul oleh Hanafi dimaksudkan untuk menunjukkan supremasi realitas terhadap wahyu, ia berpendapat bahwa tidak ada ayat atau surat yang tanpa didahului latar belakang pewahyuan. Sekalipun latar belakang ini harus dipahami dalam pengertian yang luas, yang bisa berupa kondisi, peristiwa, atau lingkungan di dalamnya sebuah ayat diturunkan; nasikh-mansukh  menunjukkan gradualisme dalam penetapan aturan hukum, eksistensi wahyu dalam waktu, peruahannya menurut kesanggupan manusia, dan keselaransannya dengan perkembangan kedewasaan individu dan masyarakat dalam sejarah.
Sementara konsep mashlahah merujuk pada pentingnya tujuan wahyu sebagai peristiwadalam sejarah. Menurut Hanafi, manusia mampu memahami peristiwa-peristiwa yang dapat menimbulkan lahirnya wahyu atau dalam peristiwa di mana wahyu menjadi signifikan dan secara bersamaan disepakati masyarakat (ijma’) sebagai kepentingan bersama (mashlahah).
Dalam kerangka hermeneutik berikutnya, Hanafi menerima pandangan Hans-George Gadamer bahwa setiap pembaca (penafsir), dalam melakukan interpretasi harus berangkat dari asumsi-asumsi awal, horizon, wawasan dan pengaruh-pengaruh intern pada dirinya yang bersumber dari berbagai pengalaman-pengalaman intelektualnya,  tahap ini disebut sebagai prapemahaman dalam proses interpretasi.
Dengan demikian, menurut Hanafi, suatu  pemahaman terhadap teks  tidak dapat mengabaikan historisitas penafsiran. Setiap teks berangkat dari prapemahaman tertentu, pemahaman akan kebutuhan dan kepentingan penafsir dalam teks. Penafsir adalah kegiatan produktif dan bukan reproduksi makna. Bukan hanya karena makna awal sulit ditemukan, tetapi juga karena makna awal tersebut tidak akan relevan lagi karena telah kehilangan konteks ekstensialnya. Dengan kata lain, kalaupun makna awal berhasil ditemukan, ia bukanlah pendasaran makna, namun hanya merefleksikan adanya kaitan antara teks dan realitas, bahwa teks ataupun penafsiran selalu memiliki nilai historis tersendiri.
Metode yang mempengaruhi pemikiaran Hanafi selanjutnya adalah fenomenologi. Sebuah metode yang sangat berguna untuk mempertajam analisis terhadap realitas, dalam hal ini realitas yang dimaksud Hanafi adalah relitas ekonomi, politik, khazanah Islam, sekaligus realitas tantangan peradaban Barat. Dengan metode ini realitas dunia Islam diharapkan mampu berbicara bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain fenomenologi memberikan sebuah analisis Islam alternatif yang dapat menghindarkan semangat metafisis yang menurut Hanafi tidak relevan untuk menggambarkan realitas manusiawi dan Ilahi.
Dari segi metodologis, pengaruh marxisme begitu kental dalam hermeneutiknya, hal ini bisa dilihat dari pemikirannya yang senantiasa mengaitkan hermeneutika pada “praksis” dalam hubungan antara interpretasi dengan realitas. Dalam Marxisme klasik dikenal filsafat bernalar dan materialisme historis. Dalam upaya untuk menajamkan kritik terhadap realitas dan pengujian teks pada realitas, Hanafi banyak meminjam instrumen Marxisme, khususnya metode dialektika.
Peran marxisme ini pada gilirannya akan menemukan pisau analisis yang tajam tentang masyarakat dan realitas yang menjadi tujuan hermeneutiknya. Dalam pandangan Hanafi, jika metode (Marxisme) ini diterapkan makan akan menemukan kesejajaran antara teks dan realitas. Jika teks memiliki struktur ganda: kaya-miskin, penindas-tertindas, kekuasaan-oposisi, demikian halnya dengan sifat dasar teks. Struktur teks yang bersifat ganda tersebut kemudian melahirkan hermeneutika progresif dan konservatif. Hermeneutika konservatif beranjak dari teks, mendasarkan diri pada makna literal dan makna otonom, dan aturan yang didasarkan pada realitas yang diandaikan, dan menganggap teks sebagai nilai per se. Sementara hermeneutika progresif menganggap teks sekedar alat, kehidupan nyata (justru) adalah nilai absolut yang perlu diperhatikan
Pengaruh marxisme terhadap pemikiran Hanafi mengantarkan pada suatu unsur-unsur ideologi revolusioner untuk melakukan tafsir ulang terhadap agama. Seperti,  melakukan melakukan pemaknaan ulang terhadap Tauhid. Tauhid dimaknai sebagai rasa tunduk hanya kepada Tuhan, sehingga tunduk terhadap selain kekuasanNya adalah bentuk pengingkaran terhadap Tuhan itu sendiri. Ia menegaskan bahwa; ketika sesorang mengatakan la Ilaha illallah berarti harus melakukan penolakan dan penerimaan sekaligus. Melakukan penolakan terhadap seluruh Tuhan palsu yang ada pada zamannya, menolak setiap keadaan dimana orang-orang justru menyatakan dirinya Tuhan dengan memperalat dan mengkonsterasikan harta  kekayaan untuk golongannya sendiri. Dan penerimaan adalah menyetujui bahwasannya harus tidak ada kelas-kelas yang mendominasi dalam struktur masyarakat. Pemaknaan ini untuk mereduksi kesenjangan teori dengan kaitan praksis melalui pemaknaan ulang terhadap agama yang bersifat non-materalistik, sehingga include dengan nilai-nilai islam.
Melalui marxisme, Hanafi mengajak interpreter berangkat dari dan menuju praksis. Ia mengklaim jika hermeneutika semacam ini sejalan dengan fenomenologi, maka dapat menciptakan perubahan, mentransformasikan penafsiran dari sekedar mendukung dogma (agama) menuju kepada gerakan revolusi (massa), dari tradisi menuju modernisasi. Penggunanaan Marxisme dan fenomenologi ini pada saat yang sama memberikan kemungkinan akan menemukan Ego dan cogito sosio-politik yang baru, afirmasi individu, hak-hak kelompok, rakyat dan bangsa.[3] 
E.      Pemikiran Dan Sistematika Hermeneutik Hasan Hanfi
Manurut Hanafi, ada dua perbedaan terbesar yang substansial antara hermeneutika Barat dengan Islam. Dalam hermeneutika Yunani dan Kristen Barat, tugas Rasul (Tuhan Hermes/Christ) adalah menerjemahkan pesan Tuhan kepada umat manusia. Begitu pula, dalam tradisi Islam, Malaikat Jibril (Roh Kudus) tidak mempunyai hak untuk menerjemahkan wahyu teks Allah, karena dia hanya seorang mediator antara dia dengan Nabi Muhammad Saw.
Menurut Hanafi, dengan “kesadaran yang netral” Jibril mendiktekan wahyu Allah. Hanafi menegaskan, “i authenticite de I information”, “depend de la neutralite de la consience du rapporteur.”. pada gilirannya, seperti Jibril, Nabi Muhammad Saw harus mengadopsi kesadaran netral (al-wa’yu) dalam menyampaikan ayat-ayat Tuhan. Seperti kitab suci lainnya, Al-Quran adalah sebuah teks kuno bagi pembacanya, dan oleh karena itu diperlukan permasalahan psikologis (yakni, permasalahan menjembatani perbedaan budaya dan waktu antara pengarang dengan pembacanya).
             Dalam pendekatan fenomenologi Hanafi, hermeneutika adalah ilmu yang menentukan relasi antara kesadaran dengan obyeknya, yakni kitab suci.  Hermeneutik Hasan hanafi dibangun dari berbagai pengandaian dalam fenomenologi dan Marxisme, dua mazhab pemikiran dengan paradigma yang bertolak belakang yang ia sintesakan ke dalam disiplin dan pendirian hermeneutika filosofis.[4]
Di sini Hasan Hanafi menyaratkan beberapa langkah sistemik dalam merealisasikan hermeneutikanya yaitu:
Pertama, merumuskan komitmen sosial politik. Bagi Hanafi, seorang penafsir bukanlah orang yang netral, karena ia berada hidup dalam lingkaran peristiwa di suatu negara termasuk berbagai krisis di dalamnya. Oleh sebab itu, ia harus menempatkan diri pada kelompok yang tertindas dan minoritas. Dengan begitu seorang penafsir diharapkan menjadi reformis, aktor soisal, dan revolusioner.
Kedua, mencari sesuatu. seorang mufasir semestinya sudah mempunyai tema tertentu yang ingin ia ketahui sebelum memulai penafsiran. Dengan kata lain, kegiatan interpretasi tidak lain bertujuan untuk mencari sebuah solusi atas suatu masalah.
Ketiga, mensipnosis ayat-ayat yang berkaitan dengan tema-tema tertentu. Ayat-ayat yang berhubungan dengan tema tertentu tersebut dikumpulkan dengan teliti, dibaca secara simultan, lalu dipahami berulang-ulang sampai orientasi umumnya dapat ditemukan.
Keempat, mengklasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Sebab melalui analisis linguistik orientasi suatu makna dapat diketahui.
Kelima, membangun struktur yang ideal. Setelah orientasi makna didapatkan, penafsir berusaha membangun suatu struktur, berangkat dari makna menuju suatu objek.
Keenam, menganalisis situasi faktual. Yaitu menghubungkan dengan situasi nyata, misalnya situasi negara yang dilanda keterpurukan kekuasaan, kesejahteraan, hak asasi manusia, dan sebagainya.
Ketujuh, membandingkan yang ideal dengan yang riil (kondisi realitas).
Kedelapan, mendeskripsikan model-model aksi. Setelah ditemukan adanya kesenjangan antara dunia ideal dengan dunia riil, maka aksi sosial merpakan langkah paling penting dari proses interpretasi. Dengan demikian penafsir harus mampu mentransformasikan diri dari teks ke aksi.[5] 
III. Kesimpulan
Hassan Hanafi lahir pada 13 Februari 1935 di Kairo, Dia merupakan seorang pemikir Hukum Islam dan professor filsafat terkemuka di Mesir yang menguasai tiga bahasa sekaligus: Arab, Prancis, dan Inggris
Sejauh ini, sebuah metode yang dinamakan “hermeneutika” menjadi sangat ramai dalam pembahasan sebagai bahan interpretasi pada sebuah teks.
Hanafi merupakan pemikir muslim radikal dan kritis baik terhadap gerakan Islamis maupun Barat yang mencoba mendominasi Islam. Oleh karena itu, dia berusaha merekonstruksi pemikiran Islam ke arah yang dapat membebaskan umat Islam dari segala bentuk penindasan.
Hanafi membangun sebuah metode Hermeneutika dengan mengusung kolaborasi antara disiplin keilmuan dari khazanah Islam klasik dan tradisi intelekual barat. Yaitu Ushul al-Fiqh, Hermeneutika, fenomenologi, dan Marxisme.
Menurut Hanafi, dengan “kesadaran yang netral” Jibril mendiktekan wahyu Allah. Hanafi menegaskan, “i authenticite de I information”, “depend de la neutralite de la consience du rapporteur.”. pada gilirannya, seperti Jibril, Nabi Muhammad Saw harus mengadopsi kesadaran netral (al-wa’yu) dalam menyampaikan ayat-ayat Tuhan.



Daftar Pustaka
afabagus , http:/2013/12/hermeneutika-hasan-hanafi.html (diunduh 29-05-2015).
Hanafi, Hassan. Islamologi, Dari Teologi Statis ke Anarkis, terj. Miftah Faqih, (yogyakarta: LkiS, 1992).
Husaini, Adian. Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran, (Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008).





[1]Adian Husaini, Hermeneutika dan Tafsir Al-Quran,(Jakarta: Penerbit Gema Insani, 2008), hal 7-8
[3] Hassan Hanafi, Islamologi, Dari Teologi Statis ke Anarkis, (yogyakarta: LkiS, 1992), hlm. 108
[4] afabagus , http:/2013/12/hermeneutika-hasan-hanafi.html (diunduh 29-05-2015)
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com